Mata Ayam

Sepasang mata itu selalu menghantui Gufran. Ia tidak kenal mata itu, namun ia yakin mata itu bukan mata manusia. Bentuknya terlalu kecil dan bulat, bahkan meski hanya melihatnya di dalam mimpi pun, ia benar-benar yakin akan hal itu. Setiap kali bangun tidur di pagi hari, sepasang mata itu masih terus terbayang. Gufran sudah mencoba menceritakan hal ini pada beberapa orang temannya, namun tak ada yang menanggapi dengan serius. Sebagian temannya mengatakan bahwa Gufran terlalu berlebihan dalam menanggapi mimpi, sebagian lagi meledek Gufran sudah gila.

Namun dalam mimpinya yang terbaru, semuanya menjadi jelas. Sepasang mata itu bergerak agak menjauh, sehingga ia bisa melihat bahwa pemilik mata itu adalah seekor ayam. Ayam jantan, lengkap dengan jengger dan paruhnya, yang selalu menatapnya penuh teka-teki selama lima malam berturut-turut. Ayam itu tidak berkokok dan tidak pula mengeluarkan suara lain, ia hanya menatap bisu, terkadang menggerakkan kepalanya ke kanan atau ke kiri. Saat Gufran menceritakan bahwa yang selama ini menghantuinya di dalam mimpi adalah seekor ayam, teman-temannya semakin yakin bahwa Gufran sudah gila.

Maka siang ini ia pun mendatangi psikiater di klinik kantornya. Biasanya para pegawai mendatangi psikiater itu karena mengalami stres di tempat kerja atau karena ada permasalahan rumah tangga, namun baru kali ini ada pasien yang datang dan mengadu bahwa dirinya dihantui seekor ayam.

“Apakah Bapak sedang diliputi perasaan bersalah karena suatu hal?” tanya psikiater itu, wanita berkemeja putih dan berkacamata.

Gufran menggeleng. Ia tidak merasa telah melakukan kesalahan apa-apa belakangan ini. Tidak pula ia merasa telah menyakiti seseorang.

“Bapak pernah merasa tertekan karena diawasi orang lain? Misalnya oleh atasan di kantor, atau oleh anggota keluarga?”

Gufran berpikir sejenak. Pekerjaannya memang akhir-akhir ini agak berantakan, tapi itu terjadi setelah ia dihantui oleh mimpi-mimpi anehnya. Sebelum itu, pekerjaannya terbilang sangat baik, bahkan beberapa kali dipuji atasan. Di rumah, istrinya juga tak pernah menuntut macam-macam. Ia adalah wanita yang sabar dan menerima Gufran apa adanya. Walau memang, terkadang ia penasaran apakah istrinya pernah memendam kekesalan terhadap dirinya. Tapi untungnya sejauh ini mereka sangat jarang bertengkar. Gufran juga bukan teroris dan tidak pernah punya indikasi ke arah sana, ia tak pernah merasa diawasi intel atau polisi.

Gufran menggeleng.

Psikiater itu melirik ke arah langit-langit, tampak sedang mencari-cari pertanyaan selanjutnya.

“Kapan terakhir kali Bapak refreshing? Misalnya piknik bersama keluarga?”

Gufran mencoba mengingat-ingat. Mungkin terakhir kali ia dan istrinya pergi jalan-jalan adalah ketika mereka berbulan madu dulu. Ia memang sibuk bekerja, sementara akhir pekan selalu ia habiskan untuk istirahat di rumah. Mungkinkah itu yang menyebabkan pikiran Gufran menjadi stres? Karena kurang refreshing? Atau mungkin saja masalah lain yang selalu berusaha ia abaikan, seperti kenyataan bahwa hingga saat ini ia masih tak dikaruniai keturunan.

“Sudah lama. Terakhir kali waktu bulan madu dengan istri,” jawab Gufran.

Psikiater itu mengangguk-angguk, lalu menuliskan sesuatu di atas kertas resep. Sebuah dosis obat penenang yang akan membuat Gufran bisa tidur lebih nyenyak dan meredakan ketegangan pikirannya. Mungkin dengan pikiran dan tubuh yang lebih tenang, mimpi aneh itu tidak akan muncul lagi.

“Baiklah, ini untuk sementara saja, setelah ada perkembangan nanti Bapak harus datang ke sini lagi. Oh ya, satu lagi. Apa sesaat sebelum mimpi-mimpi itu muncul, Bapak pernah… hmm… menatap seekor ayam?” tanyanya, agak ragu.

Di antara semua pertanyaan tadi, pertanyaan terakhir itulah yang paling membekas dalam pikirannya. Pernahkah ia menatap seekor ayam? Ia benar-benar ragu. Ia tidak pernah memelihara ayam atau unggas lainnya, tapi bukannya tak mungkin. Setiap hari ia berangkat kerja menggunakan bus karyawan, dan jarak antara rumahnya dan halte bus memang lumayan jauh. Ia selalu menempuh jarak itu dengan berjalan kaki, tepat sehabis Shubuh. Dan pada jam-jam seperti itu, ia seringkali melewati rumah para tetangga yang memelihara ayam, sebagian di antaranya adalah ayam jantan yang rajin berkokok.

Ia tidak yakin apakah ia harus memeriksa seluruh ayam tetangganya, jadi ia memutuskan untuk langsung pulang dan meminum obat yang baru saja ia tebus.

Sebenarnya ia tak berharap banyak, tapi di luar dugaan, obat penenang itu bekerja dengan baik. Gufran bisa tidur nyenyak dan tidak lagi memimpikan ayam itu, ia bahkan tak bermimpi sama-sekali. Ia bangun saat adzan Shubuh berkumandang, lalu secara spontan ia tersenyum dan bersyukur dalam hati. Betapa nikmatnya bisa tidur nyenyak tanpa dipelototi oleh seekor ayam. Saat istirahat makan siang nanti, ia akan mendatangi sang psikiater dan mengucapkan terima kasih karena obat yang diberikannya sangat manjur.

Gufran mengusap-usap pundak istrinya yang masih tidur di sebelahnya. “Bu, bangun. Sudah Shubuh.”

Istrinya menggeliat pelan dan menoleh ke arahnya, tatapannya menyelidik. “Tidurmu nyenyak, Pak?”

Ia terus memperhatikan wajah Gufran dan menangkap senyum lebar di bibirnya. Ia ikut tersenyum bahagia, sebab akhir-akhir ini ia juga ikut terganggu karena suaminya itu sering terbangun tengah malam dan kadang berteriak sendiri dalam tidurnya. Senyum yang terukir di wajah Gufran membuktikan bahwa semua itu sudah berlalu.

Tapi kening wanita itu mengerut ketika ia menyadari senyuman Gufran tiba-tiba saja berubah menjadi ekspresi ketakutan. Ekspresi ketakutan luar biasa yang ….

 

Cerita ini terdapat dalam buku Setelah Gelap Datang.

Cerita ini terdapat dalam buku Setelah Gelap Datang.