Menara listrik di tepi jalan terlihat seperti sepasang tanduk iblis yang sedang memintal benang. Telunjukku gelisah mengetuk-ngetuk setir mobil, sementara kakiku pegal menginjak kopling untuk menghadapi kemacetan tanpa ujung. Ketika aku berhasil melewati sumber kemacetan itu, aku melihat sebuah truk terguling di pinggir jalan. Di bagian belakang truk itu terdapat lukisan perempuan bahenol dengan huruf-huruf yang ditulis menggunakan cat merah: DEMI ISTRI RELA MATI.
Instingku menyimpulkan semua itu sebagai pertanda. Apakah sesuatu yang buruk terjadi pada istriku? Di dalam kota, mobilku kembali terhenti oleh lampu lalu-lintas yang menatap merah dan angka digital yang berhitung mundur, seolah bila angka itu habis maka bencana besar akan terjadi.
Ini adalah pertama kalinya istriku melahirkan dan aku datang terlambat. Aku tak menyangka ia akan melahirkan secepat ini. Terakhir kali kami bertemu tak ada tanda-tanda yang meyakinkan. Tetangganya, Pak Jamal dan Bu Jamal, membawa istriku ke bidan ketika mendengar ia menjerit-jerit sendirian di dalam kamar. Namun bidan menolaknya, ia menyarankan agar istriku dibawa ke rumah sakit karena tak dapat melahirkan secara normal. Pak Jamal meneleponku ketika aku masih melakukan meeting di luar kota. Dengan suara yang terbata-bata karena kebingungan, ia memintaku agar segera datang.
Ketika tiba di rumah sakit, aku menemui dokter yang mengatakan bahwa istriku harus dioperasi caesar. Posisi bayinya tidak memungkinkan untuk persalinan normal. Kuikuti saran dokter dan memberinya izin untuk melakukan bedah. Kemudian aku menghampiri Pak Jamal dan istrinya yang sedang berdiri di depan pintu. Kuucapkan terima kasih kepada mereka sambil meminta maaf karena telah sangat merepotkan. Merekalah yang selama ini kutitipi untuk mengawasi istriku yang hamil tua. Mereka berusaha menenangkanku dan mengatakan bahwa Karin, istriku, baik-baik saja.
Pintu kamar sedikit terbuka. Dokter mempersilakanku untuk menemui Karin, tapi aku tak bisa terlalu lama mengulur waktu, sebab operasi harus segera dilakukan. Ketika melihatku masuk ke dalam ruangan, Karin mengembuskan napas berat, entah karena lega atau kesal. Separah inilah hubungan rumah tangga kami. Mungkin kehamilan adalah satu-satunya alasan yang membuat dia tidak menuntut cerai dariku.
“Kamu terlambat. Aku sudah melahirkan tiga kali,” ucapnya dengan suara gemetar, tapi tetap terdengar ketus.
Kuseka peluh di keningnya, lalu kuciumi ia sambil kuusap-usap perutnya. Aku meminta maaf. Ia membalasnya dengan sindiran bahwa aku benar-benar suami yang Siaga–sibuk tiada hingga. Bila saat ini ia tidak sedang hamil dan akan dioperasi, perang dunia pasti sudah meletus lagi. Semua ini tak perlu terjadi seandainya ia mau ikut pindah denganku.
Sejak setahun yang lalu, kami memang hidup terpisah. Ketika dia belum hamil, ada kalanya kami hanya bertemu satu bulan sekali, bahkan lebih. Semua itu bermula ketika aku mendapat tawaran bekerja di luar kota. Posisi dan gajiku di sana lebih besar dibandingkan dengan kantorku yang lama. Kupikir Karin akan senang mendengar kabar itu, tapi aku keliru.
Ia tidak rela meninggalkan rumah peninggalan neneknya. Rumah itu diwariskan turun temurun dari neneknya kepada ibunya, lalu dari ibunya kepada Karin. Karena ia anak tunggal dan kedua orang tuanya sudah meninggal, rumah itu menjadi amanat yang harus ia jaga. Aku pernah membujuknya untuk menjual rumah itu. Kebetulan seorang pengusaha berminat membelinya untuk perluasan kantor. Namun Karin menolak, ia pikir almarhumah neneknya akan marah kalau mengetahui rumah peninggalannya dijadikan tempat parkir.
Jalan tengah juga pernah kutawarkan kepadanya, yaitu dengan mengontrakkan rumah. Setelah kurayu dengan susah payah, Karin menurut. Rumah itu sempat dikontrakkan kepada sepasang suami-istri dan anaknya yang masih kecil, tapi setelah tiga bulan tinggal di sana, mereka pindah begitu saja. Gosip aneh sempat tersebar di kalangan para tetangga dan ibu-ibu arisan. Katanya, rumah itu berhantu. Mereka pernah melihat sosok gelap berdiri di depan pagar, di atas pohon, atau duduk di atap rumah. Gosip-gosip itu membuat Karin bertambah kesal. Akhirnya ia kembali tinggal di rumah itu dan aku tetap bersikeras pindah kerja ke luar kota.
“Jangan takut, Sayang, aku enggak akan pergi lagi,” ucapku sambil meremas tangannya. Ia tak mengatakan apa-apa. Kukecup keningnya sekali lagi, lalu beranjak meninggalkan ruangan itu.
Ketika satu kakiku melangkah meninggalkan ruangan, tiba-tiba Karin menggumam. Ia bilang ia mengetahui sesuatu, entah apa. Aku menoleh lagi, tapi ia pura-pura tak melihat. Ada keringat dingin yang muncul di leher dan punggungku, tapi aku berusaha tak memikirkannya.
Para perawat membawa Karin ke ruang operasi. Aku sempat mengikutinya hingga depan pintu, tapi aku tak diizinkan masuk. Begitulah peraturan di rumah sakit ini, mereka belum mengadopsi aturan terbaru bahwa suami diperbolehkan masuk ke ruang operasi. Bukan berarti aku ingin masuk bila diizinkan. Melihat penyembelihan hewan kurban saja aku muntah.
Pak Jamal dan istrinya sudah tidak ada di depan ruangan tadi. Mungkin mereka sudah pulang karena ada hal yang harus dikerjakan. Aku duduk di salah satu kursi tunggu, menghela napas dalam, dan mengendurkan dasi yang baru kusadari masih melilit di leherku.
Setelah beberapa detik berlalu, aku baru sadar bahwa ada seorang laki-laki yang duduk di sebelahku. Kepalanya botak dan tubuhnya kurus. Ia mengenakan kaos putih dan celana berwarna cokelat. Umurnya kira-kira tak jauh berbeda denganku, mungkin sedikit lebih tua.
“Menunggu siapa, Pak?” tanyaku, berusaha memulai obrolan.
“Istri saya, melahirkan,” jawabnya cepat, seperti terkejut menyadari ada yang mengajaknya bicara.
“Wah, sama. Saya juga,” ucapku. Aku merasa lega karena mendapat teman. “Anak ke berapa?” tanyaku lagi.
“Keempat,” jawabnya. “Kalau Bapak?”
“Baru anak pertama, Pak,” jawabku. “Wah enak, ya, sudah berpengalaman. Pasti sudah enggak terlalu panik lagi.”
Lelaki itu tertawa. Aku sempat berpikir bahwa dia adalah tipe orang yang tidak suka tertawa di depan orang yang baru dikenalnya, tapi sepertinya aku salah.
“Ah, kata siapa? Saya sudah berhari-hari nggak tidur. Sampai sekarang pun masih panik,” ujarnya. Kulihat kantung matanya yang menghitam seperti mata panda dan kulitnya yang sangat pucat. Ucapannya benar-benar serius.
Ia bercerita padaku bahwa istrinya sangat manja dan membutuhkan banyak perhatian. Selama istrinya hamil, ia selalu menemaninya. Ia membuatkannya makanan, menyuapinya, bahkan ketika istrinya mengidam buah-buahan yang langka, ia rela pergi ke kampung-kampung dan memanjat pohon untuk mencarinya.
“Orang-orang sampai bingung waktu lihat saya manjat pohon. Mereka pikir saya aneh, tapi buat saya itu tugas saya sebagai suami. Saya selalu mengawasi istri saya tiap detik. Saya lihat perubahan-perubahan dalam dirinya dan saya merasa bahagia. Sudah lama saya enggak merasakan ini,” ucapnya.
Anak pertama dan keduanya ternyata sudah lama meninggal. Anak pertamanya meninggal karena penyakit jantung, sementara anak keduanya meninggal dalam kecelakaan. Ia menceritakannya dengan sangat tenang, seperti benar-benar sudah mengikhlaskan kepergian mereka. Mungkin kelahiran anaknya yang baru ini dapat menggantikan perasaan kehilangan itu. Meski aku tidak berani bertanya lebih jauh mengenai masa lalunya, aku bisa menyimpulkan bahwa ia adalah lelaki yang sangat bertanggung jawab, bahkan bisa dibilang overprotektif.
Ketika topik pembicaraan beralih menjadi tentang diriku, kata-kata tertahan di tenggorokan. Ceritaku terlalu kontras dengan ceritanya dan aku sedang tak punya ide untuk berbohong.
Kami terdiam dan memandangi televisi layar datar yang sedang menayangkan iklan asuransi. Iklan itu menggambarkan sebuah keluarga yang sedang menari-nari di tengah rerumputan, mereka tampak bahagia berkat perlindungan asuransi. Tokoh perempuan beranak dua di iklan itu sama sekali tidak terlihat seperti ibu-ibu. Badannya langsing, wajahnya cantik; tidak seperti Karin yang sudah menggendut dua kali lipat bahkan sebelum ia hamil dulu.
Ponsel di saku celanaku bergetar. Kulihat nama peneleponnya. Perempuan itu. Jantungku berhenti berdetak sesaat dan tanganku gemetar. Padahal sudah kukatakan kepadanya agar tak menghubungiku lagi, bahkan sudah kuteriakkan ke wajahnya bahwa semua ini sudah selesai. Kumatikan ponsel itu, lalu cepat-cepat kumasukkan ke dalam saku, seolah lelaki di sebelahku akan mengintip dan melaporkannya kepada Karin.
Aku menoleh, kursi di sebelahku kini kosong. Lelaki itu menghilang begitu saja seperti hantu–atau mungkin malaikat. Mungkin ia adalah malaikat yang diutus Tuhan untuk menyindirku, bahwa aku adalah lelaki brengsek yang tak pantas mendapatkan semua ini. Sesuatu di dalam diriku terasa menggumpal dan membuatku mual. Aku berlari ke kamar mandi dan tidak bisa memuntahkan apa-apa kecuali air. Dengan tubuh lemas dan mata yang sedikit basah, aku kembali duduk di ruang tunggu.
Setelah satu jam menonton reality show tentang perselingkuhan, video musik, dan iklan asuransi omong kosong itu lagi, pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Dokter menghampiriku dan mengatakan bahwa operasi istriku sempat mengalami masalah hingga ia harus dibius total dan saat ini belum benar-benar siuman. Bayiku selamat, tetapi kondisinya yang agak lemah membuatnya harus ditempatkan di ruang perawatan bayi. Dokter itu menjelaskan beberapa istilah teknis yang sulit kubayangkan karena pikiranku terlalu sibuk memikirkan keadaan Karin dan bayiku yang belum memiliki nama itu.
Dengan rasa penasaran, bahagia, dan cemas, aku bergegas menuju ruang perawatan bayi. Di sana, di antara kotak-kotak inkubator dan peralatan medis, aku melihat lelaki itu lagi, lelaki yang tadi bicara denganku di ruang tunggu. Ia sedang menghadap ke salah satu kotak bayi sambil melambai-lambaikan tangannya. Apakah bayinya juga dirawat di ruangan ini? Kebetulan sekali. Mungkin kali ini aku bisa berkenalan dengannya.
Sebelum menyapa lelaki itu, kutanyakan tempat perawatan bayiku kepada perawat. Perawat itu menunjukkan kotak paling pojok, tepat di depan lelaki itu. Kutanyakan sekali lagi, perawat itu masih menunjuk ke arah yang sama, lalu ia mengajakku mengikutinya.
Ketika aku mendekati lelaki itu, rasa mual di dalam perutku muncul lagi. Kulihat punggungnya yang kurus seperti dahan pohon, lalu aku bisa membayangkan ia sedang berdiri di depan pagar rumah istriku, di atas pohon, atau duduk di atap–seperti yang digosipkan para tetangga dan ibu-ibu arisan.
Aku ingat, ibu Karin memang meninggal karena kecelakaan, dan setelah ini aku harus menanyakan kepadanya apakah neneknya meninggal karena penyakit jantung. Lelaki itu menoleh sambil tersenyum. Kuperhatikan wajahnya bergantian dengan wajah bayiku. Semua yang ganjil tiba-tiba terasa genap.