Nada Terakhir Untuk Robi

Robi, seperti Hachiko yang menunggu majikannya pulang, selalu duduk di tempat yang sama setiap senja. Di kursi tua di depan danau, anak sepuluh tahun itu menatap langit yang semakin lama semakin redup kehabisan cahaya. Ia memelihara seekor anjing yang selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. Lucunya, anjing itu juga bernama Robi–bukan Hachiko. Menamakan nama anjing sama dengan nama pemiliknya tentu adalah hal yang terasa agak kejam, namun kenyatannya memang Robi sendirilah yang memberinya nama demikian. Masalah dalam identifikasi diri, gangguan dalam pertumbuhan kejiwaan, begitulah kata orang-orang.

Robi dan Robi sudah lama dikenal oleh warga sekitar Danau Panorama, sebuah danau yang terletak di dalam Perumahan Panorama Permai, perumahan yang sering terendam banjir ketika musim hujan tiba. Menurut warga penghuni perumahan, orangtua Robi terseret arus ketika terjadi banjir setahun yang lalu, kemudian tenggelam ke dalam danau. Hingga kini jasad mereka tak pernah ditemukan, entah karena danau itu terlalu luas atau karena orang-orang tidak teliti mencarinya. Setelah peristiwa itu, Robi hidup sebatang kara, lebih tepatnya berdua dengan Robi Sang Anjing. Ia pernah diajak salah seorang anggota keluarganya untuk tinggal bersama di Sumatera, namun ia berontak. Entah apa alasannya, orang itu akhirnya menyerah dan malah menitipkan Robi pada Rusdian, seorang satpam perumahan Panorama Permai.

Rusdian sudah beristri, tapi ia tak memiliki anak. Mungkin itulah alasannya ia bersedia merawat kedua Robi itu, meski istrinya kurang suka dengan anjing. Awalnya ia berusaha membiayai sekolah Robi dengan bantuan warga, tapi Robi selalu menolak pergi ke sekolah dan akhirnya dikeluarkan. Ia sadar, anak itu memang sifatnya keras dan sulit diatur. Rusdian juga paham betul kebiasaan Robi yang selalu duduk di depan danau ketika senja tiba. Biasanya ia duduk di sana sambil membawa buku gambar dan krayon, lalu ia akan menggambar pemandangan danau. Mungkin masih berduka dengan kematian kedua orangtuanya, begitulah pikir Rusdian.

Namun sore ini ada yang berbeda dengan Robi. Biasanya, ia duduk di depan danau dari pukul lima hingga matahari terbenam, dan setelah itu ia akan langsung pulang ke tempat Rusdian atau mengamen di warung ayam goreng yang berada di pintu masuk perumahan. Anehnya, kali ini Robi tetap bergeming meskipun matahari sudah hampir benar-benar terbenam. Buku gambar yang biasa ia bawa juga kini tak ada di tangannya. Ia hanya duduk diam dan melamun. Cahaya langit perlahan-lahan padam, menyisakan semburat merah, seperti darah orang yang digigit ikan hiu ketika berenang.

Adakah darah yang mengalir ketika kedua orangtua Robi tenggelam? Ya, Robi melihat darah di air banjir ketika orang tuanya hanyut. Orang yang mati tenggelam biasanya meninggal karena tak sanggup bernafas, kecuali kalau tubuhnya tertusuk benda tajam, atau digigit binatang buas. Ketika Robi menceritakan apa yang ia lihat pada Rusdian, Rusdian hanya mengira bahwa tubuh kedua orangtua Robi pada saat itu tertusuk besi yang hanyut dari tempat barang rongsokan. Ia yakin seratus persen, di danau itu tidak mungkin ada binatang buas.

“Rob, ngapain masih di situ? Ayo, udah gelap!” ucap Amir sambil mendekati Robi yang masih duduk di atas kursi kayu panjang bersama anjingnya. Amir adalah remaja enam belas tahun yang sering mengajak Robi mengamen bersama.

Robi hanya menggeleng tanpa ekspresi. Sejak kematian orangtuanya, Robi memang jarang bicara. Bahkan selama beberapa hari pertama, orang-orang sempat mengiranya bisu. Ia hanya bicara ketika ia harus bicara, dan ketika bernyanyi saat mengamen.

Amir duduk di sebelah Robi sambil menjinjing ukulelenya, sesekali melirik Robi Si Anjing. Dalam benaknya, kalau saja Robi mau menjual anjing itu, mungkin mereka bisa mendapat banyak uang. Apalagi anjing itu tampak sehat dan kuat, pasti laku kalau dijual.

Perhatian Amir beralih ke tangan Robi ketika ia menyadari ada hal yang tidak beres. Ada sesuatu di tangan Robi. Sesuatu yang sejak tadi tak ia sadari karena sumber cahaya di dekat mereka hanyalah lampu taman yang redup. Sekarang hidungnya baru bisa menyadari keanehan itu.

Amir meraih tangan kiri Robi dan memperhatikannya dengan seksama, “Apaan ini?”

Di telapak tangan kiri Robi terdapat lendir yang sangat lengket, dan ketika Amir mendekatkan hidungnya, ia bisa merasakan bau amis seperti bau darah. Robi menarik tangannya dengan terburu-buru, seolah tak ingin Amir melihatnya lebih dekat lagi.

“Rob! Kamu abis ngapain?” Amir yang merasa panik kemudian mendorong pundak Robi dan berusaha melihat wajahnya. Tapi Robi terus memalingkan muka.

“Nggak ngapa-ngapain!” jawab Robi agak membentak. Robi Si Anjing tiba-tiba mengonggong.

Mata Amir akhirnya bisa beradaptasi dengan keadaan remang-remang itu dan mulai dapat melihat Robi dengan lebih jelas. Matanya tertuju pada saku celana Robi. Ada sesuatu yang menyembul keluar dari sana, sesuatu yang sebenarnya tidak muat disimpan di dalam saku.

Dengan gerakan yang kasar, Amir meraih saku celana Robi dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menahan tubuh Robi agar tidak berontak. Ia menarik benda itu keluar. Benda itu terasa kenyal dan basah, tapi juga agak lengket. Amir menarik tangannya dan memperhatikan benda yang ia genggam itu. Sekujur tubuhnya mendadak merinding.

Benda itu ukurannya segenggaman tangan, agak lebih besar sedikit. Bentuknya lonjong dan ada kaki-kaki kecil yang menjuntai keluar dari sisi-sisinya. Selain itu kalau diraba dengan lebih teliti, Amir dapat merasakan ada sisik-sisik halus di permukaan benda itu. Lendir berbau busuk muncrat keluar ketika Amir menguatkan genggamannya, ia mengernyitkan wajah dengan jijik. Benda itu jelas makhluk hidup, atau setidaknya pernah menjadi makhluk hidup.

“Ini kodok, Rob? Atau apaan?” tanya Amir sambil menjauhkan benda itu dan menutup hidungnya dengan tangan kiri.

“Bukan apa-apa!” Robi manusia dan Robi Si Anjing menyalak hampir bersamaan.

Sambil menahan nafas karena bau, Amir memperhatikan benda itu lagi dari sisi yang berlawanan. Ia terkejut. Pada sisi yang tadi menempel di telapak tangannya, ternyata terdapat sepasang mata. Tidak, bukan sepasang, tapi dua pasang. Empat buah bola mata menggelembung seukuran kacang atom, salah satunya tampak sudah pecah dan mengeluarkan lendir. Di bawah mata itu, terdapat lubang besar yang menganga, di dalamnya berderet gigi-gigi runcing.

Tangan Amir gemetar, semakin lama semakin kencang. Ia menjatuhkan bangkai menjijikkan itu ke atas tanah, dan dengan gelisah menatap Robi dari ujung kepala hingga kaki.

“Robi!” teriak Amir, ia kembali mendorong Robi dan menggeledah seluruh tubuhnya. Kali ini Robi memberontak dengan sekuat tenaga, bau amis menyeruak dari setiap gerakan tangan Robi dan membuat Amir merasa mual. Tapi ia tidak mau kalah, ia menggunakan seluruh tenaganya, dan setelah itu ia berhasil mengeluarkan segumpal bangkai lagi dari saku Robi yang sebelah kanan. Tidak hanya itu, ia juga menemukan bangkai yang hampir sama di balik kaos Robi.

Melihat majikannya diserang seperti itu, Robi Si Anjing tidak tinggal diam. Sejak awal ia memang tidak bersahabat dengan Amir, maka kali ini pun ia tak segan-segan melompat dan menerkam Amir. Samar-samar berkat cahaya dari lampu taman, Amir kini baru bisa melihat tetesan lendir menjijikkan yang terdapat di mulut anjing itu. Ia tak habis pikir, hewan macam apa yang baru dibunuh oleh kedua Robi ini?

Esoknya, Robi dan Amir sudah tampil di surat kabar lokal. Judulnya: Monster Katak Gegerkan Warga Sekitar Danau. Dalam berita tersebut Amir dan Rusdian menjadi narasumber, sebab Robi sulit diwawancara.

“Waktu saya datang ke danau, monster itu lagi menyerang Robi. Gigi-giginya tajam mirip ikan piranha. Untung saya kebetulan lewat sana. Saya pukul monster-monster itu sampai hancur. Saya nggak peduli apakah itu hewan yang dilindungi atau bukan, soalnya saya kan terpaksa, ingin menolong anak ini,” ucap Amir kepada wartawan.

“Semenjak orangtuanya meninggal dalam banjir, Robi tinggal bersama saya. Dia memang anaknya agak aneh, susah diatur, dan jarang bicara. Menurut saya sih wajar aja, mungkin dia masih ada trauma,” jelas Rusdian, seperti yang dikutip dalam koran.

Menurut surat kabar, bangkai monster aneh itu kini sudah berada di laboratorium untuk penelitian lebih lanjut. Entah kapan hasil penelitian itu akan diumumkan. Banyak juga yang menganggap temuan itu palsu, karena mungkin saja itu bangkai dua ekor katak dan ikan yang dihimpit menjadi satu. Namun berita yang pada dasarnya sudah aneh ini tetap bergulir menjadi lebih aneh, bagaikan efek bola salju. Muncul kisah di forum-forum internet bahwa hewan aneh tersebut sebenarnya berasal dari luar angkasa. Spekulasi ini muncul karena berita ditemukannya makhluk itu hampir bersamaan dengan kasus penampakan UFO di beberapa daerah di Indonesia.

Kisah-kisah fantastis semacam itu secara alamiah mengundang orang dari berbagai penjuru ke Danau Panorama. Selama bertahun-tahun, baru kali ini danau di dalam perumahan itu benar-benar menjadi objek wisata, sebagaimana rancangan awal pembangunan Perumahan Panorama. Selain wisatawan dadakan dan pers haus berita, beberapa peniliti dari universitas juga datang untuk mengambil sampel air danau.

Warga setempat memasang kotak sumbangan di jalan yang menuju danau, alasannya untuk perawatan dan kebersihan. Istri Rusdian juga tak ketinggalan memanfaatkan keadaan itu dengan berjualan minuman ringan. Dan di antara semua orang, yang menjadi bintang utama adalah Amir. Ia menjadi narasumber bagi semua pertanyaan pengunjung, dan ia selalu menjawabnya dengan senang hati. Hanya dalam waktu dua hari saja, ia sudah mengarang cerita tentang cahaya misterius di atas danau.

Semua orang tampaknya melupakan Robi. Dan ia sendiri pun tidak keberatan dilupakan. Namun karena keadaan di tepi danau kini sudah tak sepi seperti biasa, Robi pun enggan untuk duduk-duduk di pinggir danau itu lagi. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengamen dan menggambar di buku gambarnya. Akhir-akhir ini ia senang menggambar tokoh-tokoh kartun yang sering muncul di televisi dan komik. Bukan berarti gambarnya bagus, tapi orang-orang mendukung hobinya itu karena dianggap bisa menjadi terapi atas trauma yang ia hadapi.

Membawa anjing peliharaan ketika mengamen adalah tindakan yang tidak disukai pengunjung rumah makan. Mau tidak mau, Robi meninggalkan anjingnya di rumah Rusdian. Dan berhubung Amir sedang sibuk menjadi pemandu wisata, akhirnya siang ini Robi mengamen seorang diri. Warung ayam goreng di gerbang perumahan hanya buka setelah maghrib, jadi ia pun pergi ke luar perumahan. Beberapa warteg, warung Padang, dan restoran kecil ia datangi satu persatu. Dengan wajah yang hampa ekspresi, ia menyanyikan lagu-lagu lokal yang sedang naik daun. Dan siapapun yang mendengarnya bernyanyi mungkin akan setuju kalau anak ini tampak tak serius mengamen. Nada-nada yang keluar dari mulutnya seringkali tidak pas dengan suara ukulelenya. Selain itu, penampilannya yang tampak santai juga membuat orang-orang tidak menaruh belas kasihan padanya. Akibatnya, uang yang ia dapatkan hanya sedikit sekali.

Robi duduk di sebuah warung kopi di pinggir jalan raya sambil meminta segelas air putih. Demi mengusir kebosanan, selama beberapa menit ia mencoret-coret buku gambar yang selalu ia bawa di dalam ransel lusuh. Ia memperhatikan halaman buku gambarnya yang sudah tipis, banyak halaman yang tampak sobek. Kalau ia meminta pada Rusdian, mungkin ia akan dibelikan yang baru.

Setelah cukup lama melamun, bapak-bapak penjaga warung mengajaknya berbincang. Rupanya bapak itu mengenali wajah Robi yang sempat muncul di surat kabar, meski hanya dalam sebuah foto kecil. Untung ia tidak tahu bahwa Robi-lah yang sebenarnya menangkap makhluk aneh itu.

“Dulu waktu kecil, saya juga sempat tinggal di dekat danau itu lho, Dek,” ucap bapak itu berusaha membanggakan diri.

Robi hanya mengangguk. Ia tampak tak tertarik.

“Kata kakek saya dulu, danau itu udah ada sejak berabad-abad silam. Konon, dulu di sana pernah ada seorang manusia sakti. Suatu hari, orang sakti itu sedang tidur sambil bermimpi, tiba-tiba datang musuhnya. Diam-diam musuhnya itu menusuk si orang sakti tadi pakai pisau. Matilah dia,” bapak itu bercerita dengan nada suara yang meninggi, penuh semangat.

“Katanya sakti?” protes Robi dengan suara yang datar.

“Eee, jangan salah, Dek. Dia memang sakti, tapi bukan sakti karena tubuhnya kebal senjata atau semacamnya. Yang sakti itu pikirannya. Apapun yang dia pikirkan, jadi kenyataan!”

Robi mengangguk-angguk, untuk kesekian kalinya.

“Karena dia dibunuh waktu dia sedang bermimpi, jadi antara raga dan mimpinya itu terpisah, Dek. Raganya mati, tapi mimpinya masih mengawang-awang. Dan konon, mimpi orang sakti itu akhirnya mengendap dan berubah jadi danau. Nah itu dia asal-usul Danau Panorama, dulunya disebut Danau Mimpi. Ya, namanya juga legenda, boleh percaya boleh nggak. Tapi kalau saya waktu itu ikut diwawancara wartawan, wah, pasti makin lengkap itu beritanya! Sayang Adek dan penduduk komplek nggak ada yang tahu legenda itu!” bapak itu tersenyum lebar.

Tanpa memberikan tanggapan apa-apa, Robi kembali meneguk air putih di hadapannya. Namun belum sempat air putih itu mengalir di tenggorokannya, tiba-tiba terdengar suara gonggongan anjing. Ia menoleh ke arah jalan raya, dan ternyata benar saja, memang ada seekor anjing yang sedang berlari menghampirinya. Dan anjing itu adalah Si Robi, anjing Robi.

Robi Si Anjing menghampiri Robi dan menyalak. Entah bagaimana anjing itu bisa tahu keberadaannya, mungkin ia kesepian di rumah Rusdian, lalu ia melompat pagar dan mulai mengendus bau Robi yang tercecer di jalan. Robi mengusap-usap kepala anjing peliharaannya itu. Sekarang, ia tak mungkin melanjutkan acara mengamen sambil membawa anjing, jadi ia memutuskan untuk pulang saja.

“Kalau ada wartawan lagi, jangan lupa kasih tahu saya ya, biar lengkap beritanya!” ucap bapak penjaga warung ketika Robi beranjak pergi.

Setelah menempuh perjalan sekitar lima belas menit, Robi tiba di wilayah perumahan. Orang-orang sedang berkerumun di sekitar danau, namun berbeda dengan biasanya, wajah mereka kini tampak serius. Beberapa orang tampak sedang memotret dengan antusias, dan dua orang polisi tampak siaga. Merasa penasaran, Robi berusaha bergerak maju. Ia dapat menembus kerumunan dengan mudah karena tubuhnya yang mungil, dan juga karena ada seekor anjing yang mengikutinya dari belakang. Ketika ia berhasil berdiri di barisan terdepan, akhirnya ia dapat menyaksikan apa yang membuat orang-orang menjadi heboh. Makhluk katak aneh itu muncul lagi? Ternyata bukan. Ada makhluk lain yang muncul, dan makhluk itu masih hidup.

Beberapa meter dari tepi danau, sesuatu berwarna putih muncul dari dalam air dengan perlahan. Makhluk itu bergerak lambat ke arah daratan, dan sedikit demi sedikit wujudnya mulai terlihat. Sosok putih itu memperlihatkan kepalanya. Matanya bulat hitam dan menatap tajam, helaian kumis panjang tampak mencuat di atas gigi taringnya yang menyeringai. Harimau, orang-orang berbisik. Harimau putih, tanpa belang, muncul dari dalam danau. Makhluk macam apa itu? Sejak kapan harimau hidup dalam air? Orang-orang semakin panik. Apalagi ketika menyadari ada balutan kain compang-camping di tubuh harimau itu, dan juga sebuah pita merah jambu yang menggantung di dekat telinganya.

Kalau saja makhluk itu muncul di layar kaca, mungkin orang-orang akan tertawa karena kekonyolannya. Tapi tidak dalam keadaan ini. Harimau berpita pink itu menggoyang-goyangkan tubuhnya yang basah, lalu ia mengaum dengan suara menggelegar, memamerkan gigi-giginya yang tajam. Orang-orang yang berkerumun langsung membubarkan diri dengan penuh ketakutan, mereka menjerit panik, berusaha mencari tempat yang aman. Banyak yang berlindung di dalam rumah penduduk dan mengunci pintu, sementara sebagian lagi ada yang mengambil senjata seadanya.

Ketika harimau putih itu merendahkan tubuhnya sebagai ancang-ancang untuk menerkam, polisi yang berjaga di dekat danau tak punya pilihan lagi. Mereka menembakkan pistol ke arah binatang buas itu. Terdengar empat kali tembakan, salah satunya tepat mengenai kepala sang harimau. Ia roboh, harimau aneh itu roboh, dan dari luka tembakannya keluar lendir berbau amis.

Menyaksikan itu, Robi mendekap erat buku gambar di tangannya.

——–

Garis polisi berwarna kuning kini membatasi tepi danau yang berhadapan dengan pemukiman warga. Penyelidikan lebih lanjut akan diadakan esok hari, sementara malam ini langit sama sekali kehilangan cahaya. Satu-satunya yang menerangi danau itu adalah cahaya dari lampu taman yang redup.

Robi mengendap-endap di sisi danau yang agak jauh dari jarak pandang warga. Kali ini ia tak punya kesempatan untuk duduk-duduk di bangku kayu lagi. Rumput liar yang diinjaknya berubah menjadi bebatuan kecil ketika ia semakin dekat dengan air danau. Ia berlutut dan menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang melihat dirinya. Lalu dengan ujung jarinya ia menyentuh air danau itu. Dingin. Sangat dingin, seolah merefleksikan kegelapan langit.

Perlahan-lahan, Robi mengeluarkan buku gambarnya dari dalam tas ransel. Kejadian tadi sore membuat ia yakin dengan dugaannya. Robi teringat dengan gambar apa saja yang ia buat belakangan ini. Gambar monster-monster katak khayalannya sendiri, yang secara tak sengaja tertiup angin dan jatuh ke danau. Lalu gambar Hello Kitty yang dengan sengaja ia masukkan ke danau untuk menguji dugaannya. Dan berdasarkan kejadian tadi sore, ternyata Hello Kitty itu benar-benar muncul dari dalam danau, meski sedikit berbeda. Jelaslah, ini danau ajaib.

Muncul sedikit ketakutan dalam pikirannya, bahwa mungkin saja yang menenggelamkan kedua orangtuanya dulu adalah sesosok monster yang tercipta dari buku gambarnya yang terseret arus ketika banjir. Tapi ia membuang jauh-jauh pikiran itu, ada hal yang harus ia lakukan sekarang.

Gambar yang akan ia wujudkan kali ini agak berbeda. Ia menyobek kertas dari buku gambarnya. Pada kertas itu terdapat gambar sepasang manusia. Robi memandangi gambar itu, gambar potret kedua orangtuanya yang ia buat dengan susah payah. Memang tidak mirip, tapi bagi Robi itu sudah cukup.

Perlahan-lahan ia menghanyutkan kertas itu ke permukaan danau. Seharusnya selembar kertas akan mengapung selama beberapa saat, tapi entahlah, danau itu seperti menelan apa saja, seperti melahap karena kelaparan. Dalam beberapa detik, kertas itu tenggalam, jatuh hingga ke dasar.

Robi duduk di tepi danau dan menunggu. Mungkin yang diceritakan bapak-bapak penjaga warung tadi memang benar. Mungkin danau ini memang tercipta dari mimpi seorang manusia sakti, sehingga keinginan apapun yang masuk ke dalam danau ini akan berubah menjadi kenyataan. Dan sekarang keinginan Robi sangat sederhana. Ia hanya ingin kedua orangtuanya kembali.

Ia menunggu dalam hening sambil memeluk tubuhnya sendiri, menahan gigitan angin malam yang dingin. Sepuluh menit, dua puluh menit. Ia sungguh bosan, dan kakinya sudah menggigil. Ia tak tahan lagi. Ada perasaan kecewa, namun masih tersisa harapan. Mungkin memang danau ini tak bisa mewujudkan objek manusia, atau mungkin saja membutuhkan waktu yang lebih lama dari biasanya. Robi pun berdiri dan membalikkan badan, bersiap pulang. Namun baru satu langkah ia berjalan, terdengar suara sibakan air dari belakang tubuhnya.

Dua buah kepala muncul dari dalam danau, bergerak mendekat ke tepi. Semakin dekat jaraknya, semakin banyak bagian tubuh yang terlihat. Kedua sosok itu seperti menaiki anak tangga ke atas, dengan langkah yang pelan dan khidmat. Robi mengenali kedua sosok manusia tersebut, ia tersenyum. Ayahnya dan ibunya, kembali dari dasar danau. Ayah dan ibunya telah hidup lagi!

Kedua sosok itu kini telah sepenuhnya keluar dari dalam air, mereka terus bejalan mendekat ke arah Robi, sementara jejak-jejak air tercetak di jalan yang mereka injak. Robi merentangkan tangannya, bersiap memeluk dua orang yang paling ia rindukan itu. Ketika akhirnya cahaya lampu taman berhasil meraih tubuh kedua sosok itu, Robi menahan nafas. Mereka tak seperti yang ia bayangkan, mereka sungguh berbeda. Dalam hati ia menyalahkan dirinya sendiri, apakah ini gara-gara gambar yang ia buat tsangat jelek? Atau karena….

Robi tidak jadi melangkah maju, ia malah berjalan mundur dengan perlahan. Sambil menggelengkan kepalanya, ia menangis. Baru kali ini ia menangis semenjak peristiwa banjir setahun yang lalu.

Mimpi. Danau itu memang konon tercipta dari mimpi seorang manusia sakti yang dibunuh. Tapi mimpi macam apa yang sedang dialami orang itu sesaat sebelum ia mati? Yang jelas bapak-bapak di warung tadi tak pernah menyebutkan bahwa mimpinya adalah mimpi indah.

“Rooobiiii.…Robiiii…,” kedua sosok itu mengerang dalam waktu hampir bersamaan, menimbulkan nada yang masih diingat Robi dengan samar-samar. Nada yang selalu dinyanyikan kedua orangtuanya bila Robi tak bisa tidur setelah larut malam. Nada yang membujuknya untuk segera tidur. Untuk segera bermimpi.

Untuk event tantangan gambar di kemudian.com

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).