Memberi Tanpa Imbalan

Setiap pagi, ada seorang pengemis tua yang mendatangi rumah Bu Darma. Saat Bu Darma memberi sedekah kepada si pengemis tua, pengemis itu mengucapkan terima kasih berkali-kali, menampakkan wajah bahagia sambil bercucuran air mata, serta mendoakan Bu Darma agar sehat dan banyak rezeki. Bu Darma ikut bahagia melihat ekspresi pengemis tua itu dan mengamini doa-doanya. Sejak saat itu, si pengemis selalu datang setiap hari, dan Bu Darma selalu memberinya sedekah. Namun, lama-kelamaan, Bu Darma menyadari ada sesuatu yang berubah dari pengemis itu. Lama-lama, senyum syukur di wajah si pengemis itu semakin pudar, doa-doanya semakin pendek, dan bahkan pada suatu ketika, si pengemis berhenti mengucapkan terima kasih kepada Bu Darma.

Bu Darma pun kesal. Ia merasa pengemis itu sudah lancang sekarang, seolah-olah sedekah Bu Darma dianggap sebagai kewajaran dan bukan suatu anugerah lagi. Ia pun memutuskan untuk berhenti memberi sedekah kepada si pengemis tua itu dan mencari pengemis lain yang [menurutnya] lebih menghargai sedekahnya.

Pertanyaannya, apakah sejak awal, Bu Darma memang benar-benar ikhlas memberi sedekah?

Terkadang, kegiatan memberi yang diklaim ikhlas atau tanpa pamrih bisa jadi memiliki motif yang tak disadari. Mungkin, secara sederhana, kita bisa mengatakan Bu Darma “kurang” ikhlas karena ia masih mengharapkan imbalan dari si pengemis, yaitu berupa senyum syukur dan doa-doa. Kegiatan memberi sedekah pun pada akhirnya berubah menjadi kegiatan transaksi belaka, yaitu transaksi menukarkan sejumlah uang dengan ucapan terima kasih dan doa-doa. Ketika Bu Darma tidak mendapatkan imbalan yang ia harapkan, transaksi pun ia hentikan. Jual-beli dibatalkan.

Lebih dari itu, mungkin juga ada semacam “penegasan kekuasaan” yang timbul dari kegiatan memberi. Bukan hal yang sulit dipahami, bahwa orang yang memberi biasanya memiliki “kelebihan” dibanding orang yang diberi.

Ibaratnya begini: Saya memberi kamu uang, berarti saya lebih tinggi dari kamu, oleh karena itu kamu harus menunjukkan sikap sebagai orang yang lebih rendah di hadapan saya: menunduk-nunduk, berlinang air mata, bahkan menyembah-nyembah. Bila kamu tidak menunjukkan sikap itu (atau malah menunjukkan sikap berlawanan), berarti kamu lancang, tidak tahu diri. Saya akan menghukum kamu dengan berhenti memberi kamu uang. Inilah “penegasan kekuasaan” yang saya maksud bisa terjadi dalam kegiatan memberi.

Tentu saya tidak sedang berusaha mengecilkan manfaat praktis dari kegiatan bersedekah. Dalam jangka pendek, sedekah yang kurang ikhlas sekali pun masih lebih bermanfaat bagi orang lain daripada tidak sama sekali. Misalnya, bagi orang yang sedang kelaparan, nasi bungkus yang diberikan oleh politisi penjilat dianggap lebih penting daripada beasiswa kuliah atau modal usaha.

Saya jadi teringat pada kata-kata anak jalanan di bus kota, bahwa “memberi uang seribu-dua ribu tidak akan membuat Anda jatuh miskin dan tidak akan membuat kami kaya raya”. Kalimat itu ada benarnya. Biasanya, orang memberi sedekah memang bukan untuk melenyapkan jurang antara si kaya dan si miskin, melainkan untuk mengatasi masalah jangka pendek. Bahkan, ada juga orang yang bersedekah sambil tetap ingin mempertahankan jurang kaya-miskin dengan alasan “kalau semua orang jadi kaya, nanti siapa yang mau menerima sedekah saya?”.

Dalam kehidupan nyata, tidak banyak kegiatan memberi yang bisa dikatakan murni tanpa pamrih. Program CSR perusahaan-perusahaan bertujuan untuk memperbaiki citra di mata masyarakat dan meningkatkan penjualan, bantuan dari lembaga-lembaga internasional hanya diberikan dengan syarat-syarat tertentu yang menguntungkan pendonor, donatur-donatur LSM memiliki agenda politiknya sendiri, penghuni rumah memberikan hadiah kepada tetangganya demi merawat hubungan sosial yang saling menguntungkan, pelanggan rumah makan memberi uang kepada pengemis supaya pengemis cepat pergi, orang yang memberi sedekah hanya untuk menimbulkan perasaan nyaman dan tenteram dalam dirinya sendiri, dan lain sebagainya.

Lantas, apakah manusia memang makhluk yang selalu pamrih? Mustahilkah bagi seorang manusia untuk memberi kepada manusia lain atas dasar kepedulian yang tulus, tanpa mengharapkan imbalan apa pun–bahkan sekadar doa, ucapan terima kasih, atau perasaan lega? Entahlah. Biasanya, kita menghindari perasaan “riya’” dengan mencegah orang lain menyaksikan kebaikan kita. Padahal, pihak yang paling sering menyaksikan kebaikan kita justru adalah orang yang menerima kebaikan kita itu sendiri.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).