Maujud: Mimpi Buruk Paket Komplit

Saya tidak pernah membeli buku kumpulan cerpen indie dan merasa berdebar-debar saat membuka bungkusnya, kecuali saat membeli Maujud. “Betapa eksklusif!” pikir saya ketika membuka kemasan berwarna hitam yang terekat rapi dengan tulisan putih “Adit Bujbunen Al Buse, Palung Mimpi Buruk Maujud, Sebuah Antologi” di bagian depannya, serta siluet sosok monster di bagian belakangnya.

Keterpukauan saya semakin memuncak dan nyaris mencapai klimaks ketika di dalam kemasan itu saya menemukan empat buah objek. Jika ini adalah mimpi buruk, ini pasti mimpi buruk yang megah.

Judul : Palung Mimpi Buruk Maujud – Sebuah Antologi
Genre : Horror/Thriller
Gaya : Kumpulan Cerpen/ Prosa/ Audiobook/ Soundscape/ FilmScoring/
Komik
Format : Hardback & Vinyl CD-R
Freebies : Poster, Sticker
Waktu Rilis : 25 – 12 – 2013
Harga : Rp. 66.600,-

Objek pertama adalah sebuah buku kecil dengan hard-cover merah. Tulisan judul dan nama pengarang melingkar rapi di sampul buku. Ketika saya membuka buku itu, saya menemukan lembaran kertas tipis berisi tulisan dengan layout yang mengingatkan saya kepada kitab-kitab keagamaan. Tentunya ini bukanlah jenis buku yang bisa dengan mudah ditemukan di toko buku.

Meski memiliki tampilan dan layout yang sangat menarik, bukan berarti buku ini tak memiliki kekurangan. Kekurangan pertama, kualitas kertas yang terkesan retro itu ternyata juga rapuh sehingga mudah robek. Beberapa kali saya tanpa sengaja merobek pinggir halaman hingga terlepas dari penjilidnya saat sedang mengganti halaman. Buku ini harus diperlakukan dengan ekstra hati-hati, layaknya sebuah buku tua. Mungkinkah ini sesuatu yang disengaja untuk membangun kesan ancient? Saya tergoda untuk berpikir demikian.

Kekurangan kedua adalah dari segi teknik penulisan. Cerpen-cerpen dalam buku ini memiliki napas yang serupa, tentang hal-hal yang mencekam, brutal, dan mengejutkan. Ada cerita tentang makhluk buas yang meneror manusia, seorang laki-laki yang selalu melihat pemandangan mengerikan pada jam-jam tertentu, dan ada pula tulisan yang lebih mirip puisi daripada cerpen. Tema dan sudut pandang yang digunakan cukup menarik, suasana yang dibangun dalam cerita juga cocok dengan visualisasi yang ditampilkan, tapi rasanya masih banyak yang bisa dimatangkan dari teknik penulisan dan penceritaannya. Terkadang gaya bahasa terasa terlalu kontras. Di satu sisi ada kesan ingin menampilkan bahasa yang serius, enigmatis, dan hiperbolis; tapi di sisi lain ada kecenderungan untuk menjadi sangat kasual. Misalnya pada awal cerita kita akan menemukan kalimat semacam: “Jalanan tampak begitu silang-sengkarut dipenuhi berbagai wahana beroda yang saling berebut lahan berjalan. Begitu pula dengan yang sedang kunaiki sekarang. Sebuah wahana yang telah terdefinisi sebagai salah satu angkutan umum ibukota, metromini.” Tak lama kemudian, masih oleh narator yang sama, kita menemukan kalimat “Tapi ternyata dia mengenalku! Gilag! … Gimana gak kaget tuh?

Meski begitu, saya juga menemukan keunikan dalam pemilihan kata di buku ini, misalnya kata silang-sengkarut, asyik-masyuk, kebergemingan, dan maujud itu sendiri; bahkan ketidaksesuain dengan EYD seperti penulisan enerji (bukan energi) dan obyek (bukan objek) yang dilakukan secara konsisten malah menimbulkan kesan old-skul.

Objek kedua di dalam kemasan adalah sebuah CD berwarna hitam dalam bungkus kertas putih. CD yang sekilas tampak seperti piringan hitam ukuran mini ini diberi label berwarna merah di bagian tengahnya. Harus saya katakan bahwa CD ini sangat keren. Ada tujuh track di dalamnya, sebagian berupa musik/soundscape, sebagian lagi berupa audio pembacaan cerita. Saya tidak begitu paham klasifikasi musik sehingga tidak bisa menggolongkan musik dalam CD ini, (dark ambience? avant-garde? eksperimental?), tapi bisa dibilang ini bukanlah “musik” yang bisa diapresiasi semua orang. Bahkan track yang berupa pembacaan cerita pun masih dihiasi dengan berbagai efek suara, sehingga tidak murni seperti audio book pada umumnya.

Objek ketiga adalah sebuah poster yang kira-kira berukuran A3 bergambar makhluk bertubuh perempuan, berkepala gurita, dan bermata tujuh–semacam hasil kawin silang antara gadis dari Athena dan monster dari buku H. P. Lovecraft. Meski gambarnya bagus, tapi saya tidak yakin akan memasangnya di kamar tidur, kecuali saya ingin mendapatkan mimpi buruk setiap malam.

Poster Maujud

Keempat, saya menemukan secarik kertas kecil berjudul “Komik Maujud”. Pada kertas itu tertulis URL untuk mengunduh bonus komik beserta petunjuk untuk menemukan password rahasia yang hanya bisa didapatkan dengan menelusuri halaman buku Maujud. Saya pikir ini adalah konsep yang menarik, karena ada kesan misteri tersendiri yang membuat saya penasaran. Apalagi komik dalam bentuk PDF itu memiliki kualitas visual yang keren. Ketika dibuka dalam mode full-screen, komik itu seolah bergerak. Meski singkat, tapi komik Maujud bagi saya sangat memukau.

Lalu, karya macam apakah Maujud itu sebenarnya? Pertama kali membaca buku Maujud, saya kebingungan, sebab di dalam buku tersebut hanya tertulis bab III, V, VII, IX, XII, dan XIII. Lalu di mana bab-bab lainnya? Saya sempat mengira bahwa mungkin ada buku lain yang dijual terpisah. Inilah kesalahan fatal saya, yaitu menganggap Maujud sebagai sebuah buku antologi cerpen berhadiah CD. Padahal tidak, buku dan CD itu adalah satu kesatuan. Bab-bab lain yang tidak ada dalam buku ternyata bisa ditemukan dalam CD yang sudah dibahas sebelumnya.

Maujud tidak bisa dianggap sebagai buku antologi cerpen belaka, sebab seperti yang dituliskan dalam press release-nya, awalnya Maujud adalah sebuah soundtrack film fiktif. Namun ironisnya, meski saya bisa menemukan segala jenis “adaptasi” film Maujud dalam paket komplit ini–mulai dari cerpen, puisi, musik, hingga komik elektronik–saya malah tidak menemukan film Maujud itu sendiri. Apakah film itu masih menjadi film fiktif hingga sekarang? Seolah-olah Maujud adalah sebuah film gaib yang hanya bisa dketahui keberadaannya lewat medium-medium lain yang mengelilinginya.

Bagi saya, Maujud adalah sebuah mimpi buruk paket komplit. Menikmati Maujud harus dilakukan secara menyeluruh, tidak bisa secara à la carte, sebab keseluruhan karya ini bukanlah penjumlahan dari bagian-bagiannya.

Memang, sebagai orang yang lebih akrab dengan dunia tulisan, sulit dihindari bahwa fokus saya lebih tertuju pada cerpen-cerpen dalam paket ini, yang menurut saya masih belum begitu matang. Namun keistimewaan dari Maujud adalah bagaimana sang kreator memanfaatkan kelebihan jalur indie (atau lebih tepatnya, self-publishing) secara maksimal. Maujud memiliki kualitas craft dan konseptualitas yang membuatnya eksklusif, yang tampaknya akan sulit ditempuh lewat jalur penerbitan konvensional. Totalitas Maujud dapat menjadi inspirasi bagi penulis independen lainnya untuk tidak sekadar menulis buku dan mencetak dengan ala kadarnya, tapi juga mencurahkan seluruh kreativitas dan enerji-nya tanpa batas dan sekat medium, hingga gagasannya itu  benar-benar maujud.

Catatan: Berhubung banyak yang menanyakan cara membeli buku ini, saya persilakan untuk menghubungi penulisnya langsung. Saya tidak tahu apakah saat ini masih tersedia.

Website-nya
Facebook-nya

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).