Si Komang

Lompatan Si Komang

Dua belas tahun yang lalu, ayahku pernah meninggal. Aku masih ingat, peristiwa itu terjadi satu hari sebelum ulang tahunku yang ke sepuluh. Biasanya ba’da Maghrib ayahku pulang dengan tubuh bercucuran keringat (ia sengaja berjalan kaki dari kantor demi menghemat ongkos), lalu ia akan meminum segelas besar air putih di ruang makan dan mengajak ibuku mengobrol. Namun malam itu ia pulang dalam keadaan yang berbeda. Tubuhnya memang penuh keringat, tapi tangan kanannya tidak memegang gelas. Ia malah memegangi dada kirinya yang kembang kempis, sementara napasnya terengah-engah, lalu ia jatuh dari kursi dengan suara berdebam yang keras.

Aku yang menyaksikan kejadian itu langsung menjerit. Ibu mendengar, ia berlari dari dapur dan ikut menjerit ketika melihat keadaan ayah. Aku tidak begitu ingat bagaimana cara kami membawanya ke rumah sakit, tetapi beberapa jam kemudian, dokter menyatakan bahwa ayah sudah meninggal dunia. Menurut pengakuan ibu, ayah memang pernah mengeluh sakit di dadanya, tapi ia selalu menolak pergi ke dokter. Akhirnya, hari itu kami mengetahui bahwa ayah terkena serangan jantung. Perasaan sedih menghantam diriku, tapi diam-diam aku juga merasa kecewa karena batal mendapatkan kado ulang tahun yang pernah dijanjikan ayah.

Ketika jasad ayah sudah dimandikan dan para tetangga berdatangan untuk mengaji, aku ingat satu mitos, bahwa mayat yang dilompati kucing akan bangkit kembali.

Aku keluar rumah dan melihat si Komang, kucing peliharaan tetanggaku, sedang tidur di atas pagar. Kucing berbulu hitam dengan sedikit warna putih di hidungnya itu menguap, seolah tak memedulikan keberadaanku. Ia tidak sadar bahwa ialah harapanku satu-satunya. Aku memanjat pagar dengan susah payah, lalu tanganku meraih tubuhnya. Tak ada waktu untuk mengelus kepalanya atau memancingnya dengan makanan. Langsung kutarik ia dengan sekuat tenaga. Komang berontak, ia memekik nyaring, membalikkan badan, dan menanamkan kuku-kuku tajamnya di tanganku. Kuku itu ditariknya cepat berkali-kali, hingga beberapa garis merah muncul di dekat pergelangan tanganku. Aku meringis, rasanya perih.

Kami sama-sama terjatuh dari pagar. Untunglah, aku berhasil mendekap tubuhnya sebelum ia berhasil kabur. Aku tidak ingat sudah berapa cakaran yang ia goreskan ke tangan dan wajahku, tapi pada akhirnya aku berhasil melepaskan Komang di dalam rumah. Kucing itu berlari, melompati para pelayat yang sedang duduk bersila di lantai. Arah larinya tepat sekali menuju jasad ayah yang ada di tengah ruangan. Napasku tertahan, aku tak sabar melihatnya, suara dalam hatiku menyemangati Komang agar segera melompati ayah. Rupanya benar saja, kucing hitam galak itu melompat dengan lincahnya di atas tubuh ayah. Ibuku dan para pelayat tampak kaget, mereka berusaha mengusir Komang. Namun tak jadi masalah, sebab tujuanku sudah tercapai.

Aku menunggu dan menunggu, tapi ayah tak juga bangkit. Sempat terpikir, mungkin mitos itu memang tidak benar. Namun ketika ayah hendak dipindahkan ke kurung batang, sebuah keajaiban terjadi. Kedua mata ayah terbuka lebar, lalu ia bangkit duduk, tubuhnya kaku seperti batang kayu. Pelayat yang berada di sebelahnya melompat ke belakang dan berteriak. Pelayat lainnya langsung berhamburan ke luar ruangan sambil mengucap istighfar. Hanya aku dan ibu yang terdiam bisu.

Orang bilang, ayah sebenarnya belum mati, ia hanya mati suri. Hal ini memang sering terjadi dan dapat dijelaskan secara medis, kata mereka. Namun aku yakin, ayah telah bangkit dari kematian. Ia hidup kembali berkat kesaktian Komang. Aku merasa bahagia. Bagiku, itu adalah hadiah ulang tahun paling luar biasa. Sayangnya, kebahagiaan itu tak berlangsung lama, sebab ayahku yang bangkit bukanlah ayahku yang kukenal.

Ayah tidak bisa kembali bekerja. Ia hanya duduk diam di kamar, tatapan matanya selalu kosong, dan sesekali ia akan berteriak seperti orang kesakitan. Perusahaan tempatnya bekerja memang masih memberinya beberapa persen gaji dan tunjangan kesehatan, tapi itu tidak berlangsung lama. Ibu sangat terpukul dengan keadaan ayah. Bahkan pada suatu malam, di antara derai air mata yang ia sembunyikan di balik bantal, Ibu kelepasan berujar bahwa ia lebih suka melihat ayah beristirahat dengan tenang di liang lahat daripada menderita seperti sekarang.

Puncak dari penderitaan itu terjadi pada suatu malam di Jumat kliwon. Ayah yang sedang duduk membisu di meja makan tiba-tiba bangkit dengan napas yang terengah-engah. Ia menatapku. Matanya merah seperti darah. Lalu saat ia membuka mulut dan meraung, aku melihat gigi taring yang lebih tajam daripada biasanya. Tubuhku merinding, nyaliku ciut, aku segera berlari dari tempat itu. Ayah mengejarku, tapi ia terjatuh karena menginjak mainanku yang kutinggal berserakan. Aku terus berlari hingga masuk ke kamar ibu. Kudekap tubuh ibu yang masih mengenakan mukena selepas salat, lalu aku berlindung di balik punggungnya.

Suara geraman dan langkah kaki mendekat ke dalam kamar. Dapat kurasakan tangan ibu yang gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan ia dihadapi. Getaran tangan itu semakin keras ketika ayah muncul di depan kami, menyibak tirai yang menutup kamar, lalu memperlihatkan gigi-giginya yang tajam. Ia menerkam. Ibu mendorongku ke belakang. Kulihat ibu sekuat tenaga berusaha menahan ayah. Ayah terlihat sempoyongan dan lemah, tapi mata merah dan gigi taring itu dapat membuat siapa pun menjadi lemas. Untunglah suara jeritan aku dan ibu berhasil menarik perhatian para tetangga. Tiga orang laki-laki dewasa menerobos masuk ke dalam kamar, lalu memegangi tubuh ayah sekuat tenaga, bahkan salah satu dari mereka harus memukuli ayah sampai pingsan. Samar-samar aku melihat warna merah membasahi mukena ibu. Hingga kini aku tak tahu itu darah siapa.

Esoknya, aku mencari Si Komang. Kupikir ialah dalang di balik semua kejadian itu. Ialah yang membuat ayah menjadi mayat hidup gila. Kudatangi rumah tetanggaku yang memelihara Komang. Kucing itu sedang berjalan di dekat tempat sampah sambil mengendus-endus. Aku mengendap-endap di belakangnya, berusaha tidak membuatnya sadar dengan kehadiranku. Saat ia sudah berada dalam jangkauan tanganku, tiba-tiba saja ia menoleh, lalu dengan entengnya ia melompat melewati bawah ketiakku, dan berlari dengan sangat cepat.

Kukejar kucing itu hingga melewati gang-gang sempit, bahkan sampai menerobos halaman rumah-rumah tetangga tanpa izin dan menjatuhkan beberapa pot bunga. Waktu itu aku masih anak-anak dan semua tetangga sudah tahu bahwa aku adalah anak yang nakal, jadi itu bukan hal yang luar biasa.

Pengejaranku akhirnya terhenti ketika kulihat Komang berdiri di atas sebuah gundukan tanah. Kemudian aku sadar, itu bukan sekadar gundukan tanah. Itu adalah kuburan manusia. Sepertinya tanpa sadar aku telah masuk ke dalam area pekuburan warga. Napasku terengah-engah, aku berusaha menenangkan diri. Pekuburan di siang hari tidaklah perlu ditakuti. Ada banyak orang di tempat itu, termasuk para peziarah yang sedang menebar bunga dan membaca Yasin. Seharusnya ayahku dikubur di tempat itu, bila saja ia benar-benar jadi meninggal.

Komang masih mengenaliku. Ia menoleh dan menatap dengan mata bulatnya yang seolah tanpa dosa. Lalu ia mengeong pelan. Saat aku melangkah lagi, tiba-tiba ia berlari, kemudian dengan lincahnya ia melompati satu kuburan, lalu dua kuburan, dan entah berapa banyak lagi kuburan yang ia lompati sampai akhirnya ia menyusup di kolong pagar dan keluar ke jalan raya. Di jalan raya, Komang tertabrak mobil sedan hingga isi tubuhnya berhamburan keluar. Aku hampir muntah melihatnya.

Kupikir karena Komang telah mati, maka kutukannya juga akan berakhir. Ternyata tidak. Hingga pukul sebelas malam ketika aku akan tidur, ayah masih dipasung di halaman belakang. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi kepadanya setelah itu. Aku hanya ingat bahwa pada tengah malam, aku terbangun karena suara kentongan yang dipukul berkali-kali, dan kudengar suara para warga laki-laki yang berlarian di luar rumah. Ada sesuatu yang terjadi di pekuburan, sesuatu yang kemudian memutarbalikkan hidupku hingga saat ini.

—-

Picture by: samson1chCC BY 2.0

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).