Township dan Indahnya Bertani di Layar Sentuh

township intro

Beberapa bulan belakangan ini, saya sering bermain game Township di ponsel Android. Game ini memang bukan game baru, tapi kebetulan hasrat bermain game manajemen saya bangkit kembali setelah sadar bahwa saya tidak berbakat bermain Candy Crush. Awalnya, saya sempat mencoba Clash of Clans, karena konon game “tawuran” ini lebih manly daripada game bercocok tanam. Namun, berhubung saya malas bergabung dengan clan dan menyesuaikan waktu main saya dengan pemain-pemain lain yang terdiri dari ABG hingga om-om kantoran, saya pun mencoba game pertanian.

Orang-orang tentunya menyarankan Hay Day, karena game ini lebih populer dan muncul lebih awal. Namun pada akhirnya saya lebih tertarik pada Township. Bukan karena ingin anti-mainstream, tapi karena tertarik dengan gaya visualnya yang penuh detail dan tidak “sekartun” Hay Day. Ada detail-detail kecil yang lucu dan menggemaskan (meski tidak penting) yang bertebaran di setiap penjuru. Ini mengingatkan saya dengan puzzle Where’s Waldo yang pernah saya mainkan waktu kecil.

Unsur pembangunan kota dalam Township lebih menonjol. Kita mulai bermain dengan beberapa petak lahan dan hewan ternak. Lahan itu bisa kita tanami jagung, gandum, wortel, dan berbagai jenis tanaman lain (konon setelah mencapai level tertentu, kita juga bisa menanam padi). Hasil ternak seperti susu dan telur bisa diolah menjadi keju atau roti, wol dan kapas diolah menjadi baju, dan sebagainya. Hasil produksinya bisa kita jual kepada warga kota yang membutuhkan atau diekspor menggunakan pesawat. Keuntungan yang kita peroleh dari penjualan-penjualan itulah yang akan kita gunakan untuk membangun rumah penduduk, fasilitas publik, atau menanam pepohonan. Dari sebuah kota agraris, lama kelamaan kita akan membangun kompleks industri, bahkan kota metropolitan lengkap dengan pelabuhan, bandara, pertambangan, dan rumah judi (tapi tidak ada lokalisasi PSK, mungkin karena gubernurnya bukan Ahok). Namun berbeda dengan di dunia nyata, di permainan ini, semakin banyak pabrik dan rumah yang kita bangun, akan semakin banyak pula lahan pertanian yang kita miliki. Ya, di dunia Township ini tidak ada sawah yang perlu digusur untuk mendirikan mal atau pabrik semen.twonship 2

Sayangnya, saya tidak mampu membandingkan Township dengan game lainnya yang sejenis karena saya memang bukan “maniak” game pertanian. Saya belum sempat mencoba Farmville, Farm Story, Farm Frenzy, dan segudang pertanian layar sentuh lainnya yang tersedia di Play Store. Selain Farmville dan Hay Day, satu-satunya game pertanian yang pernah saya mainkan adalah Harvest Moon: Back to Nature pada zaman kejayaan Playstation dulu. Game ini menyoroti kehidupan petani yang lebih personal. Tidak ada kegiatan membangun kota, yang ada adalah kisah percintaan dengan gadis-gadis kembang desa, menjalin ukhuwah dengan warga sekitar, dan mengikuti perayaan-perayaan.Harvest moon

Di antara permainan-permainan itu, rasanya belum ada yang benar-benar terasa realistis. Tidak pernah sekali pun saya tertarik untuk bertani setelah memainkan game-game itu. Mungkin karena pertanian layar sentuh tampak lebih nyaman, aman, bersih, dan indah daripada pertanian sebenarnya. Sepertinya akan menarik bila ada pengembang game lokal yang membuat simulasi pertanian ala Indonesia yang realistis. Dalam game itu, kita berperan sebagai petani yang tidak hanya menanam dan merawat pertanian, tapi juga berurusan dengan tengkulak, menghadapi TNI dalam sengketa lahan, memprotes kenaikan harga bibit, atau membujuk anak sendiri agar mau menjadi petani setelah lulus kuliah.

Sumber: http://kabar24.bisnis.com/read/20140626/16/238992/konflik-agraria-petani-karawang-diklaim-hadapi-6-jenis-kekerasan-
Game tersebut tentunya akan diberi rating T atau M oleh ESRB: may contain violence.

Foto: http://kabar24.bisnis.com/read/20140626/16/238992/konflik-agraria-petani-karawang-diklaim-hadapi-6-jenis-kekerasan-

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).