Himejikuhibiniu

Feni anak yang aneh, atau lebih tepatnya, anak yang bebal. Begitulah yang selalu diutarakan oleh guru-gurunya sewaktu SD. Feni memang bukan anak yang bodoh atau malas, ia bahkan selalu masuk dalam peringkat tiga besar di kelasnya. Makanya, saat itu orangtuanya tidak benar-benar merasa khawatir meskipun ada satu kejanggalan pada diri Feni.

Ia bisa melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain. 

“Me-ji-ku-hi-bi-ni-u. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila ungu. Itulah warna pelangi,” ucap Bu Titin, guru SD-nya, sambil berusaha bersenandung dengan nada yang aneh.

Awalnya murid-murid merasa heran dengan penjelasan warna-warna itu. Sebelumnya mereka hanya mengenal tiga warna pelangi dan satu warna langit: merah, kuning, hijau, di langit yang biru. Mereka bahkan tak tahu nila itu apa, selain sejenis ikan. Namun Bu Titin adalah guru yang realistis, ia memang sempat menggerutu karena lagu anak-anak itu terlampau menyederhanakan ilmu pengetahuan, tapi ia maklum, sebab ilmu memang harus diberikan secara bertahap. Ia pun berusaha untuk tetap sabar dan memberikan penjelasan sederhana.

“Bu, kenapa warnanya jadi banyak? Bukannya waktu dulu katanya cuma merah kuning hijau?” tanya Fadil, salah seorang anak yang terkenal paling kritis.

“Di kelas yang lalu, kalian memang baru diajarkan tiga warna pelangi. Nah karena kalian sekarang sudah naik kelas, maka warna pelanginya kita tambah agar semakin lengkap,” ucap Bu Titin ketika menjawab pertanyaan salah satu muridnya. Dalam pikirannya, toh anak-anak ini nanti juga akan mengerti kalau jenis-jenis warna tidak hanya terbatas pada apa yang ada di dalam boks krayon mereka.

“Tapi kok Feni udah tahu lebih lengkap?” sahut Rio, anak yang duduk di baris paling belakang.

“Maksudnya?”

Semua mata tertuju pada Feni yang duduk di barisan kedua dari belakang. Anak perempuan bermata bulat itu melongo ketika menjadi pusat perhatian. Ia memang tidak banyak bicara di kelas, apalagi mengangkat tangan dan mengajukan pertanyaan. Kalau ia punya komentar atau pertanyaan, biasanya ia tanyakan pada teman sebangkunya dengan berbisik-bisik.

“Iya Bu. Sebelum warna merah, ada warna hitam. Jadinya hi-me-ji-ku-hi-bi-ni-u,” Feni menjelaskan dengan yakin.

Seisi kelas mulai ricuh dengan gumaman: Fen, kok kamu lebih pintar dari Bu Guru? Atau: Fen, kamu pasti dikasih tahu oleh abangmu yang sudah SMP ya?

Bu Titin hanya tertawa mendengar ucapan anak itu. Pikirnya, wajar bila anak kecil memiliki imajinasi yang berlebih. Meski ia bukan sarjana dalam bidang ilmu alam, tapi ia tahu, tidak ada warna hitam pada pelangi. Duh, bahkan hitam itu sendiri sebenarnya bukan sebuah warna, jadi tidak mungkin terurai dari cahaya matahari. Feni pasti salah lihat, buta warna parsial, atau sengaja mengarang cerita untuk mencari perhatian dari teman-temannya. 

“Tidak ada warna hitam di pelangi, Feni,” ujar Bu Titin.

“Ada, Bu!” kilah Feni berkeras.

“Tidak ada, Fen.”

“Ada!”

Melihat Feni yang begitu keras kepala, Bu Titin menjadi kesal. Ia ingin melotot dan membentak Feni, tapi ia tahu hal itu akan berakibat buruk. Ilmu pengetahuan harus diajarkan lewat cara-cara dialog, bukan dengan indoktrinisasi, Bu Titin berkata dalam hati. Setelah menenangkan diri, ia pun mencoba cara yang lebih demokratis.

“Baik, mungkin menurut Feni memang ada warna hitam pada pelangi. Boleh-boleh saja berpendapat yang beda, tapi harus ada buktinya dong. Ibu sendiri nggak pernah tuh melihat warna hitam pada pelangi. Lalu bagaimana dengan teman-teman kamu? Coba, anak-anak, selain Feni apa ada yang pernah melihat warna hitam pada pelangi?” tatapan Bu Titin menyisir seisi kelas. Namun murid-murid hanya saling pandang dan menggerutu, seolah tak yakin kapan terakhir kali mereka benar-benar melihat pelangi secara langsung. Dasar anak zaman sekarang, sudah tidak suka memperhatikan alam, gumam Bu Titin. Tapi ia sendiri pun sebenarnya tidak ingat kapan terakhir kali melihat pelangi. Kalau tidak salah sewaktu ia masih SMA. Sudah selama itu? Selebihnya ia hanya melihat pelangi di foto-foto dan televisi. Tapi apa mungkin warna pelangi sudah berubah?

Debat kusir itu pun berlanjut. Bu Titin berkeras dengan pengetahuan yang ia miliki, sementara Feni masih yakin dengan pengelihatannya. Hingga akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Pada penghujung semester, Feni tetap masuk tiga besar ranking di kelas, jadi sepertinya Bu Titin tidak mempermasalahkan perdebatan itu. Namun ia sempat berbicara dengan orangtua Feni mengenai keanehan anak tersebut. Tapi sekali lagi, saat itu orangtuanya tidak merasa khawatir. Mereka pikir, ini cuma khayalan anak-anak biasa.

Setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun pun berlalu. Banyak yang sekarang telah berubah. Kini Feni sudah bukan lagi seorang anak kecil. Rok merahnya sudah berganti warna menjadi biru, dan mulai muncul jerawat di pipinya yang dulu mulus. Rambutnya ia biarkan tumbuh panjang dan diikat kuncir dua, tubuhnya bertambah tinggi, buah dadanya juga mulai tumbuh seiring dengan masa pubertas yang tiba cukup awal. Tapi ada satu hal yang tak juga berubah dari diri Feni: setiap mengamati pelangi, ia masih melihat warna hitam itu.

Feni bukan gadis yang cuek, ia tidak semerta-merta memaksakan pendapatnya tanpa alasan. Ia bahkan telah membuktikannya berkali-kali. Setiap turun hujan, ia membuka jendela dan menunggu dengan was-was, menunggu rintik-rintik hujan mereda dan cahaya matahari kembali muncul dengan malu-malu. Semua anggota keluarganya sudah paham dengan kebiasaannya itu. Dan jikalau ia menemukan busur pelangi di langit pasca hujan, ia akan berguman, “Tuh kan,” sambil menunjuk pelangi itu. Ada hitam di sana, hitam yang pekat seperti bola matanya.

Beratus pengakuan sudah ia utarakan, berbagai foto hasil potretannya juga sudah ia perlihatkan, tapi tak ada satu pun orang yang sependapat dengannya. Ia masih tetap melihat warna hitam pada pelangi, tapi dalam dirinya juga mulai berkecamuk kegelisahan. Ada yang salah. Entah apakah matanya yang rusak atau mata orang lain yang tidak cukup jeli. Ia mulai menimbang-nimbang, haruskah ia berpura-pura tidak melihat warna hitam itu, agar orang-orang tidak menganggapnya aneh? Haruskah ia membohongi dirinya sendiri demi mendapatkan penerimaan orang lain? Tapi setelah merenung terus-menerus, akhirnya ia memutuskan akan terus jujur dengan apa yang ia lihat. Keputusan itulah yang membuat ia sempat terlibat adu mulut dengan guru fisikanya di SMP.

Dalam pelajaran fisika mengenai cahaya, lagi-lagi Feni mengungkapkan apa yang dilihatnya. Namun kali ini berbeda, guru fisikanya bukan Bu Titin, dan ia sudah bukan anak SD lagi. Guru fisika itu tak bisa memaklumi keanehannya, ia dianggap bodoh dan malas belajar. Teman-teman sekelasnya juga tak bisa memaklumi, mereka semua menertawakannya. Namun Feni tidak peduli, ia tetap mengatakan apa yang ia alami, bahwa ada warna hitam pada pelangi. Akhirnya, ia disuruh untuk mengikuti tes mata di rumah sakit. Mereka curiga kalau mata Feni mengalami masalah. Namun ternyata hasilnya normal. Ia tidak buta warna, bermata minus pun tidak.

Merasa gagal dengan tes mata, Feni kemudian dibawa ke psikiater. Mungkin saja bukan matanya yang salah, tapi pikirannya yang mengalami gangguan. Delusi yang tidak terkendali, skizofrenik, atau mungkin trauma yang terpendam, entah apa namanya. Tapi sayangnya, tak ada vonis yang memuaskan dari psikiater. Alasannya, karena satu-satunya keanehan pengelihatan yang ia alami hanyalah warna hitam pelangi itu, yang lainnya normal. Seandainya Feni pernah mengalami jenis delusi yang lain, mungkin psikiater itu bisa memberinya semacam terapi. Vonis yang bisa diberikan untuk keanehan Feni akhirnya tergerus menjadi satu: Feni berusaha mencari perhatian dengan mengarang cerita aneh. Dugaannya, mungkin Feni kurang perhatian dan kasih sayang dari keluarga.

Mendengar nasihat psikiater, orangtua Feni semakin khawatir. Mereka mulai mengintrospeksi diri. Benarkah selama ini mereka kurang memberi kasih sayang kepada Feni? Ayah Feni juga bertanya-tanya apakah ia terlalu sibuk bekerja hingga tak sempat memperhatikan anak bungsunya itu? Semenjak pulang dari psikiater, Feni jadi lebih sering dimanja, dilindungi, dianak-emaskan, sampai kakaknya pun kadang merasa iri. Pikir mereka, kalau gadis remaja ini sudah cukup mendapat perhatian dan kasih sayang, maka ia tak perlu lagi mengarang cerita aneh. Setidaknya mereka harus berusaha sekarang, sebelum semuanya terlambat dan gangguan kejiwaan Feni menjadi semakin parah.

Tapi rupanya, sebanyak apapun perhatian yang diberikan orangtua dan teman-temannya, warna hitam pada pelangi itu tak juga hilang dari pengelihatan Feni. Semua orang sudah pasrah, tak ada lagi yang bisa mereka perbuat. Mungkin memang tak perlu dipermasalahkan lagi, toh kelainan itu tak pernah merugikan siapapun. Paling hanya guru fisikanya saja yang sering dibuat kesal.

Bertahun-tahun kemudian, Feni tumbuh dewasa menjadi seorang wanita yang cerdas dan mandiri. Setelah lulus kuliah, ia bekerja di sebuah perusahaan swasta dan dalam waktu singkat berhasil meraih jabatan yang penting, semua itu berkat keuletannya. Melihat kesuksesan Feni, semua orang berdecak kagum, tak ada lagi yang mempermasalahkankeyakinannya tentang warna pelangi. Sebagian orang bahkan mulai lupa dengan keyakinan Feni itu, sebab seiring bertambahnya usia dan kesibukan, Feni jadi semakin jarang membicarakan pelangi. Namun bukan berarti warna hitam itu sudah hilang. Pelangi yang dilihat Feni masih sama, masih himejikuhibiniu seperti dulu. Di dalam hati, Feni belum merasa dirinya sukses. Baginya, selama belum ada penjelasan memuaskan tentang warna hitam yang selalu ia lihat itu, berarti pencarian dalam hidupnya masih akan terus berlangsung.

Setiap selesai hujan, ia memandangi pelangi di langit dan berandai-andai apakah ada orang lain yang juga melihat warna hitam itu selain dirinya? Hingga pada suatu sore, ia datang ke sebuah pembukaan pameran lukisan di galeri yang letaknya bersebelahan dengan tempat ia bekerja. Ia bukan pengamat seni, tapi yang mengundang langkahnya ke galeri itu adalah judul pamerannya: Warna Cahaya. Dua kata itu adalah kata yang selalu menjadi biang masalah dalam kehidupannya sejak kecil.

Ketika ia masuk ke dalam galeri, orang-orang sudah ramai berkumpul. Makanan ringan dan minuman hangat disajikan di atas meja, sementara sang kurator sedang memberi sambutan di depan mikrofon. Ternyata pameran ini adalah pameran bersama, ada sekitar tujuh orang seniman yang memamerkan karya-karyanya. Feni tak banyak menyimak, isi pikirannya masih terganggu dengan judul pameran itu. Setelah acara pembukaan selesai, Feni pun melangkah dengan canggung mengelilingi ruang galeri. Lukisan yang dipajang berukuran besar-besar dan kebanyakan merupakan lukisan abstrak. Ia tak mengerti apa-apa soal lukisan abstrak, tapi ia berusaha menikmati warna-warna cerah yang bertumpuk di atas kanvas.

Lukisan demi lukisan ia perhatikan dengan penuh rasa ingin tahu. Tanpa terasa, kakinya melangkah hingga ke ujung ruang galeri. Di pojok ruangan, ia melihat sebuah lukisan yang tampak berbeda. Ukuran lukisan itu jauh lebih kecil dari lukisan-lukisan lain, mungkin panjang sisi-sisinya tak lebih dari satu meter. Merasa penasaran, langkahnya bergegas mendekati lukisan itu. Sesuatu yang aneh terjadi pada diri Feni ketika ia menatap lukisan itu; jantungnya berhenti berdetak selama beberapa saat dan matanya berair. Ada lukisan pelangi di sana. Sebuah busur pelangi yang melengkung dari satu sisi ke sisi lain, dibuat dengan goresan kuas yang cukup halus. Dan satu hal yang membuat lukisan itu spesial: ada warna hitam pada pelangi itu.

Ia merasa kosong. Tidak, ia merasa utuh. Ia masih tidak tahu jawaban dari pertanyaannya, tapi entah mengapa ia merasa pertanyaannya telah terjawab. Lukisan yang ada di hadapannya sepintas memang tidak istimewa, bahkan tak beda jauh dengan lukisan anak-anak. Tidak ada bentuk yang aneh, hanya lukisan pelangi dan sebuah jendela rumah. Tapi warna hitam itu… warna hitam itu seolah berbisik kepadanya, bahwa ia tidak sendirian. Tanpa mampu ditahan, air mata mengalir pelan dari kedua mata Feni, ia pun mulai terisak. Sedih, terharu, bahagia, semua perasaan menjadi satu. Tapi sebuah pertanyaan tak terhindarkan muncul dalam benaknya, siapa yang membuat lukisan ini?

Pelukismu agung, siapa gerangan? Lagu anak-anak itu terngiang. Siapa gerangan? Siapa?

“Hanya Mbak saja yang tertarik memandangi lukisan saya,” sebuah suara lelaki muncul dari belakang punggungnya.

Feni berbalik, ia kaget melihat seorang lelaki berperawakan tinggi dan berambut gondrong sudah berdiri di sana. Tak butuh waktu lama bagi Feni untuk membuat kesimpulan bahwa pria inilah pelukisnya. Ia menyeka air matanya dan menatap laki-laki tersebut. Rasa hangat memenuhi dada, seluruh tubuhnya seperti bersuka-cita. Bukan, ini bukan perasaan seperti orang yang sedang jatuh cinta, perasaan ini seperti ketika kita berhasil melakukan sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil.

Beberapa saat lamanya, Feni hanya menatap laki-laki itu tanpa sepatah kata pun, mulutnya terasa kaku. Tapi pada akhirnya ia pun memberanikan diri untuk bercerita. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ajaib ini. Dan anehnya, meski ia tak tahu apa-apa tentang lelaki di hadapannya, tapi ia merasa seperti telah mengenalnya dengan akrab. Dengan lancar ia menceritakan semua pengalamannya tentang warna hitam pelangi yang selalu ia lihat, bagaimana orang-orang selalu mengejeknya, dan bagaimana ia kadang merasa ragu dengan dirinya sendiri.

“Apa yang nyata, dan apa yang tidak nyata?” lelaki itu bergumam, “Mbak, pelangi yang selalu Mbak lihat adalah pelangi yang memiliki warna hitam. Iya kan?”

Feni mengangguk.

“Lalu apa Mbak yakin, kalau dunia dimana pelangi tak memiliki warna hitam itu benar-benar ada?”

Pertanyaan itu membuat pikiran Feni berputar dan seperti kehilangan kesadarannya selama beberapa saat. Suaranya mendengung-dengung di dalam rongga telinga, terdistorsi menjadi bunyi-bunyian yang tak lagi memiliki bahasa. Hingga ketika pelukis itu mengucap pamit dan berjalan ke arah kerumunan orang, ia baru sadar dari lamunannya, seperti orang yang terkena sihir. Ia berusaha mengejar lelaki itu, tapi ia kehilangan jejak, mungkin sudah membaur dengan orang-orang yang sedang menikmati cemilan di ruang depan.

Ia bahkan tak menanyakan namanya, di dekat lukisan tadi juga tak ada caption seperti lukisan yang lain. Betapa bodoh, seharusnya ia berkenalan dulu sebelum mulai bercerita. Lalu ia ingat dengan katalog pameran yang sejak tadi ia pegang. Ia membolak-balik katalog itu, tapi tak menemukan lukisan pelangi yang ia maksud. Ia pun berjalan menghampiri seorang perempuan berkemeja putih di meja resepsionis.

“Maaf Mbak, lukisan yang di sudut itu kok nggak ada di katalog ya?” tanya Feni dengan agak panik.

“Lukisan di sudut yang mana ya?”

“Itu, di dinding yang itu. Lukisan pelangi.”

“Itu kan dinding kosong, Mbak, nggak ada lukisan di sana,” petugas itu mengerutkan dahi.

Feni melotot. Mustahil, bahkan ketika sekarang ia menoleh ke arah dinding itu, ia masih bisa melihat lukisan pelangi tadi dengan jelas. Sangat jelas, sangat jelas seperti warna hitam pada pelangi yang selalu ia lihat selepas hujan.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).