First World Problem: Aplikasi Messenger

Di ponsel saya saat ini sudah bertumpuk banyak sekali aplikasi pengirim pesan: WhatsApp, Line, Facebook Messenger, Hangouts (sebelumnya Google Talk), dan yang terbaru BBM for Android. Semboyan negara kita memang Bhinneka Tunggal Ika dan setiap orang berhak membuat dan menggunakan alat komunikasi pilihannya sendiri. Namun dilihat dari sudut pandang pengguna, menurut saya “banjir” aplikasi pengirim pesan ini sangat tidak efisien terhadap sumber daya. Bayangkan, bila semua aplikasi tersebut aktif dalam satu waktu, berarti semakin banyak memori dan daya baterai yang dihabiskan. Belum lagi aplikasi social media lainnya seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Padahal fungsi dari seluruh aplikasi itu bisa dibilang sama, perbedaannya cuma pada gaya dan model bisnis.

Sayangnya, saya tidak bisa begitu saja memilih salah satu aplikasi dan membuang yang lainnya. Aplikasi pengirim pesan dan social media selalu terhubung dengan kepentingan orang lain. Bila salah satu kelompok teman memilih menggunakan WhatsApp, kelompok teman lainnya menggunakan Line, keluarga menggunakan BBM, teman-teman komunitas dunia maya menggunakan Facebook dan Hangouts, berarti untuk bisa  terhubung dengan mereka semua dengan mudah, saya harus memasang semua aplikasi tersebut. Untuk itu, saya pikir ada baiknya bila kita memiliki sebuah aplikasi chatting yang universal dan bisa digunakan semua orang. Pada masa-masa kejayaan YM dan AIM dulu, saya bisa menemukan aplikasi “penjembatan” yang bisa login ke semua penyedia layanan chatting itu. Namun untuk saat ini, saya belum menemukan satu aplikasi yang bisa login ke WhatsApp, Line, dan BBM secara sekaligus.

“Aplikasi chatting yang universal, kamu bilang?” ucap seorang pembaca, yang mungkin adalah Anda sendiri, “Bukannya kita punya teknologi canggih dan universal yang bernama … SMS? Satu aplikasi yang bisa digunakan di semua ponsel, baik yang pintar maupun yang dungu.”

Saya tahu. Dorongan untuk kembali ke dasar itu sangat brilian. Namun saya teringat, hal apa yang membuat orang-orang pada awalnya beralih dari SMS ke mobile messenger? Setahu saya, orang-orang berbondong-bondong pindah dari layanan SMS ke BBM (dan mulai saat itu menolak membalas SMS dari temannya yang tidak punya BlackBerry) karena masalah biaya. Biaya paket data untuk menggunakan aplikasi chatting, terutama paket yang unlimited dan gratis, dianggap lebih murah daripada tarif SMS dan MMS. Saya tidak hapal tarif SMS seluruh operator saat ini, tapi selama biaya SMS masih lebih mahal daripada biaya paket data, rasanya akan sulit untuk mengajak orang kembali menjunjung tinggi aplikasi persatuan, aplikasi SMS.

 

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).