Di Antara Kelahiran dan Kematian

Konon, ada tiga kejadian besar dalam kehidupan manusia yang selalu menjadi inspirasi para seniman dan pujangga. Tiga kejadian besar itu adalah kelahiran, kematian, dan apa yang ada di antaranya: pernikahan. Mungkin itulah sebabnya banyak orang yang mengalami kegugupan (atau bahkan ketakutan) menghadapi pernikahan. Mereka akan menerima ucapan “selamat menempuh hidup baru”, layaknya bayi yang baru mengalami kelahiran ke dunia setelah mengalami kematian terlebih dahulu. Bagi saya dan sebagian orang lainnya, pernikahan menjadi sangat sakral karena kami ingin melakukannya hanya satu kali, bilangan yang sama seperti kelahiran dan kematian kami.

Lamunan itu berhembus dalam kepala saya saat saya sedang duduk di sebuah minimarket beberapa hari lalu, sambil menggenggam segelas kopi dari gelas kertas dan sesekali melihat ponsel, menunggu seseorang. Pengunjung-pengunjung lain sedang sibuk berbincang tentang kehidupan mereka sendiri, ada pula yang melamun sambil mengunyah kacang, sementara pepohonan di luar jendela merunduk-runduk tertiup angin yang datang bersama awan gelap. Tak lama kemudian, pintu minimarket terdengar dibuka di belakang punggung saya, kasir mengucapkan salam, dan saya dapat merasakan seseorang duduk di sebelah kanan.

Perempuan dengan kulit yang terjemur matahari itu menjabat tangan saya, lalu tersenyum lebar. Sudah sangat lama kami tidak bertemu. Saya bahkan hanya ingat samar-samar kapan terakhir kali kami bertemu secara fisik. Namanya Sherly. Kami berkenalan sekitar sembilan atau sepuluh tahun yang lalu dalam acara kirim salam di sebuah radio. Sejak itu kami bertukar nomor telepon, berkomunikasi jarak jauh, hingga akhirnya saya pindah ke Bandung untuk kuliah dan pertemanan kami pun perlahan-lahan menjadi senyap. Namun ada satu hal yang masih menghubungkan Sherly dengan saya. Dulu dia pernah menjadi pendengar setia masalah-masalah yang saya alami, dia mengetahui banyak hal yang tidak diketahui orang lain, dan ia belum mengembalikan sebuah buku yang pernah ia pinjam.

Sherly mengeluarkan sebuah buku bersampul biru tebal yang bagian jilidnya sudah mulai lepas, lalu meletakkannya di atas meja. Tiba-tiba saja, buku bergambar kerang itu membuat saya merasa lebih muda, lebih labil, dan lebih rapuh seperti sepuluh tahun yang lalu. Buku itu saya beri nama Kerang Biru. Di dalamnya ada seratus lebih puisi yang pernah saya tulis untuk seorang perempuan. Saya menyentuh buku itu dengan perlahan, berharap tidak ada halaman yang langsung rontok atau sobek. Di dalam buku itu masih ada tulisan-tulisan tangan saya dengan berbagai warna tinta: hitam, biru, hijau, hingga merah membara. Ada pula tulisan tangan perempuan dengan tinta merah muda yang dihiasi gambar-gambar hati dan titik-titik serupa kembang api. Saya segera menutup buku itu lagi, tidak ingin tampak terlalu sentimental di depan seorang teman lama.

Kerang Biru

“Akhirnya jadi juga?” ujar Sherly di antara suara tawanya.

Saya ikut tertawa. Dia sudah tahu, itulah kenapa saya memintanya bertemu dan membawakan buku itu. Namun ketika saya mengatakan bahwa waktunya adalah minggu depan, ia tampak sedikit terkejut.

Tidak ada yang menyangka. Ia mungkin masih ingat terakhir kali saya bercerita kepadanya di telepon mengenai perempuan itu, tentang bagaimana saya sudah menyerah dan menganggap semuanya sudah terlalu rumit untuk diteruskan. Pada saat itu, saya sama seperti pemuda-pemudi saat ini yang senang mengglorifikasi istilah “move on” dalam masalah percintaan.

Perempuan yang kami maksud adalah perempuan yang saya kenal sejak kelas satu SMA, lebih dari sepuluh tahun lalu. Perkenalan kami adalah gabungan dari berbagai kejadian yang awalnya tampak begitu kebetulan: insiden salah orang saat SMP (yang tidak saya sadari), membuat tulisan di buku binder, mengikuti kegiatan PMR, hingga akhirnya saya menuliskan puisi-puisi tentangnya di dalam buku Kerang Biru itu, yang saya bacakan kepadanya pada suatu siang sepulang sekolah. Namun seperti halnya kisah cinta remaja lainnya, tidak ada yang bertahan lama. Enam bulan setelah pembacaan puisi dan pernyataan cinta yang sangat canggung itu, kami pun berpisah.

Tahun-tahun berikutnya saya habiskan dengan memandanginya dari jauh, melihatnya bahagia dengan kehidupannya sendiri, sementara saya perlahan-lahan mulai berhenti menulis puisi tentang cinta. Kemudian terjadi pengulangan-pengulangan. Bila semua kejadian itu memiliki penonton, mungkin mereka selalu menghembuskan napas bosan setiap kali hubungan kami kembali membaik, lalu hancur, membaik lagi, dan begitu seterusnya. Pada satu titik, mungkin mereka sudah tidak peduli lagi apakah serial drama ini akan berakhir bahagia atau tidak.

Pada akhirnya, saya mendatangi perempuan itu dan mengatakan bahwa kisah ini harus diakhiri. Tidak ada yang perlu diperpanjang lagi, sebab semua plot yang telah terjadi hanya bisa disimpulkan dalam satu ending paling logis, satu ending paling masuk akal yang luput dari dugaan semua orang. Saat itulah saya melamarnya.

“Dapat salam dari Mey,” ucap saya kepada Sherly setelah membaca pesan singkat di ponsel.

Sherly tersenyum dan mengirimkan salam balik. Obrolan kami pun berlanjut mengenai kegiatan masing-masing, tentang ia yang pindah kontrakan dan jalanan Jakarta yang sudah mulai macet pascamudik. Saya juga memintanya untuk datang ke acara pernikahan kami, bila ia sempat dan tidak ada halangan.

Pohon-pohon di luar tidak lagi merunduk, dan awan hitam sudah tertiup ke area langit yang lain. Pertemuan singkat itu berakhir ketika ia masuk ke dalam taksi dan saya masuk ke dalam halte busway. Di dalam tas sudah tersimpan buku Kerang Biru yang segera saya baca setelah tiba di kamar kos. Beberapa menit saya habiskan untuk tertawa geli membaca puisi-puisi saya yang sangat alay di buku itu, lalu saya mengirimkan beberapa foto buku itu ke ponsel Mey agar ia bisa menertawai tulisannya sendiri.

Pertemuan kami adalah kombinasi dari berbagai kebetulan, begitu pula ketika kami berpisah dan akhirnya bertemu kembali. Lalu kami teringat bahwa skenario itu sangat mirip dengan salah satu halaman yang pernah kami tulisi. Saat itu, sepulang sekolah, kami menulis puisi bersama secara estafet satu kalimat demi satu kalimat. Mungkin bait tulisan itu adalah doa, atau sebuah harapan yang membimbing alam bawah sadar kami hingga tiba di masa sekarang.

IMG-20140803-WA0008

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).