Baju Pink Nala

Mungkin Nala seperti bunga. Ia memakai baju pink pada pesta itu untuk menarik perhatian serangga dan burung yang dapat membantunya melakukan penyerbukan. Namun mungkin Nala tidak tahu, bahwa warna pink pada bunga juga berfungsi untuk menjauhkan predator, dan aku merasa diriku lebih mirip sesosok predator daripada burung penyerbuk. Itulah kenapa aku sama sekali tak membalas sinyal-sinyal yang ia berikan selama pesta, baik senyuman, kerlingan mata, atau bahasa tubuh lainnya. Bahkan ketika ia lewat di depanku dan mencoba menyapa, secara halus aku menghindarinya.

Namun baju pink itu tetap melekat dalam pikiranku. Sebuah baju terusan sepanjang lutut yang memiliki ikatan tali berbentuk bunga di bagian belakangnya, cocok sekali dengan kulitnya yang cerah dan rambutnya yang hitam panjang. Sepanjang pesta aku memandanginya dari belakang dan merasa penasaran, bagaimana cara Nala membuat ikatan seperti itu? Apakah ada orang lain yang membantunya? Kemudian setelah pesta usai dan hujan deras turun, aku membayangkan bagaimana jadinya bila baju pink itu basah terkena hujan. Aku tahu ia mengendarai mobil, diantar pulang oleh Fredi yang sudah lama mengincarnya, tapi parkiran di tempat itu tidak memiliki atap dan ia pasti tidak membawa payung.

Sempat kukira bahwa ia akan mengganti bajunya sebelum pulang. Itu tidak benar dan tidak masuk akal. Kenyataannya, ia tetap mengenakan baju itu saat menyeberangi tempat parkir, sambil dipayungi oleh jaket milik Fredi yang mereka kenakan berdua. Bahkan ketika mobil itu melaju di tengah badai, kemudian gagal menyalip truk pasir, dan akhirnya menghantam pembatas jalan hingga terbalik dan hancur berantakan, Nala masih mengenakan baju pink itu.

Tidak berhenti sampai di situ. Hingga sekarang pun, pengendara mobil yang melewati kilometer 37 sering kali akan melihat sosok Nala berjinjit-jinjit di tepi jalan tol–tanpa menapak tanah–dan masih tetap mengenakan baju pink itu. Warna pink pada baju itu telah berubah menjadi sesuatu yang mistis, sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh nalar. Mungkin benar kata seorang ilmuwan yang pernah kubaca di sebuah artikel di internet, bahwa warna pink itu sesungguhnya tak pernah ada.

Malam itu aku ingin bertemu dengan Nala. Aku ingin mengatakan satu hal yang tak berani kuucapkan ketika ia masih hidup. Aku ingin mengatakan bahwa ia begitu cantik mengenakan baju pink itu.

Kuselidiki kapan kiranya Nala akan muncul. Menurut beberapa kenalanku yang rutin melewati jalan tol, sosok gadis berbaju pink biasanya muncul pada hari Kamis dini hari. Aku ingat, itu adalah hari yang sama dengan kecelakaan yang menimpanya. Namun itu pun masih belum pasti, kata temanku. Ia hanya akan muncul antara pukul satu hingga setengah dua pagi.

Aku maklum, sebab Nala memang belum menjadi hantu yang terkenal dan banyak disaksikan penampakannya. Bagiku itu lebih baik. Aku pasti akan kesal sekali seandainya ia menjadi terkenal, lalu seorang produser kacangan membuat film horor tentangnya, dibintangi aktris seksi berdada montok, lalu diberi judul semacam “Setan Pinky”.

Kuperhitungkan waktu tempuh dan kepadatan jalan agar aku bisa melewati titik itu tepat pada waktu yang disarankan. Malam itu agak gerimis, jalan tol tidak terlalu padat, tetapi banyak diisi oleh truk dan kontainer yang memang memilih perjalanan di malam hari.

Kukendarai mobil sedanku di lajur sebelah kiri dengan kecepatan serendah mungkin. Di depanku ada mobil truk pengangkut air mineral yang berjalan sangat pelan, tapi aku sama sekali tak berniat menyalipnya, sebab bisa saja Nala muncul di sebelah kiri saat aku sedang berada di lajur tengah. Berhenti di pinggir jalan tol bukanlah hal yang mudah, apalagi bagiku yang selama ini selalu menaati aturan lalu lintas.

Kilometer 30 sudah kulewati. Jantungku berdetak semakin kencang, tapi mataku tetap awas. Pikirku, bisa saja Nala berjalan agak jauh dari tempat ia biasa muncul. Bukankah tak ada jaminan bahwa arwah gentayangan akan selalu terikat pada satu tempat yang sama? Kalaupun ia terikat, siapa yang menentukan bahwa ia harus terikat sejauh satu kilometer saja? Kenapa tidak terikat pada seluruh jalan tol ini, atau satu kota ini, atau bahkan satu negara ini?

Gerak mobil yang lambat dan gerimis yang turun sedikit demi sedikit membuat pikiranku menerawang. Apa yang akan kulakukan setelah bertemu Nala? Mungkin aku harus mengatakan hal lain selain memuji bajunya itu, sebab bisa saja aku tak dapat bertemu lagi dengannya di lain waktu. Mungkin aku akan mengatakan bahwa dengan atau tanpa baju itu, ia tetap terlihat cantik (mudah-mudahan ini tak disalahartikan sebagai lelucon mesum). Atau tidak sekalian saja kukatakan bahwa aku telah lama jatuh cinta kepadanya, tapi tak berani menyatakan?

Lucu sekali. Keberanianku baru tumbuh beberapa hari belakangan. Tidak sekadar tumbuh, tapi tumbuh berkali-kali lipat. Tidak hanya sekarang aku merasa berani untuk menyatakan cinta, aku bahkan berani menyatakan cinta kepada perempuan yang sudah menjadi hantu.

Kemudian kebimbangan lain muncul dalam kepalaku. Karena Nala sudah menjadi hantu, apa yang menjamin bahwa ia masih secantik dulu? Temanku yang mengaku pernah melihat penampakannya tak berani menatap wajahnya dan hanya melihat baju pink itu dari kejauhan. Bagaimana jika ternyata wajahnya hancur, darah mengucur, kedua bola mata menggantung, dan otaknya meluber keluar seperti bubur? Atau bagaimana bila ternyata, setelah menjadi hantu pun, ia masih dikejar-kejar oleh Fredi–yang tentunya telah menjadi hantu juga?

Fredi sialan itu. Aku yakin kalau ia menjadi hantu pun, ia akan menjadi hantu yang mata keranjang. Mungkin hantu yang suka muncul tiba-tiba di pinggir sungai saat gadis-gadis desa sedang mandi, atau menghantui gadis kota yang baru pulang kerja dan sedang mandi air hangat di bawah shower. Aku tak masalah jika KK Dheraj berniat membuat film tentangnya, lalu dibintangi Aldi Taher dan Dewi Perssik. Aku malah akan mendukung. Judulnya? Aku punya ide, bagaimana kalau “Setan Cabul Mupeng Sok Tajir”.

Ia sama sekali tidak cocok dengan Nala. Aku yakin, Nala adalah hantu yang elegan. Ia tidak mungkin menggoda orang-orang lewat untuk sekadar membalas dendam. Memangnya ia dendam kepada siapa? Ia bukan Si Manis Jembatan Ancol, apalagi versi Kiki Fatmala. Ia juga bukan Suzanna. Nala punya diet yang cukup ketat, ia tidak akan memesan seratus tusuk sate untuk dimakan sendiri.

Kubayangkan, Nala adalah hantu yang memesona dan memercikkan daya khayal. Ia lebih cocok muncul dalam film-film A24, novel surealis, atau cerpen-cerpen sastra yang suka main mata dengan genre horor. Sosok hantu yang digambarkan dengan kata-kata indah nan artistik, menjadi perlambang dari kerinduan dan cinta yang tak terucap, serta dapat dibaca dengan bangga oleh para kritikus atau anak-anak hipster. Ia, tentu saja, tidak mungkin menjadi tokoh dalam novel-novel Abdullah Harahap yang stensilan itu.

Kilometer 36, sedikit lagi. Jantungku berdebar semakin kencang, seperti akan melakukan kencan pertama. Kemudian Kilometer 37. Mataku saat itu mungkin lebih awas daripada mata elang. Namun aku menjadi khawatir karena aku tak melihat apa-apa. Hanya ada rumput-rumput liar di pinggir jalan tol dan marka jalan berwarna kuning yang membosankan. Mungkinkah temanku itu membual? Atau mungkin, lebih jauh lagi, memang sebenarnya makhluk yang disebut hantu itu tidak pernah ada? Roh Nala mungkin tidak pernah gentayangan. Ia mungkin sudah tenang di alam kubur, menunggu hari akhir untuk diperhitungkan amal dan dosanya.

Kegelisahanku segera terjawab, beberapa meter sebelum Kilometer 38, lampu mobilku menyorot sesosok perempuan berbaju pink sedang berdiri melayang-layang di bahu jalan, tepat di sebelah garis pembatas. Segera kubelokkan mobilku ke kiri, ke bahu jalan, tanpa sempat menyalakan lampu sign. Rupanya aku terlalu mendadak menghentikan mobil sehingga tidak menyadari ada minibus di belakangku yang terpaksa mengerem mendadak dan banting setir ke kanan. Ketika melewatiku, kulihat sopir mobil itu menatapku marah sambil mengumpat: asu! 

Aku tidak punya waktu untuk memedulikan umpatan orang itu. Segera kuperiksa kaca spion sebelah kiri. Sosok berbaju pink itu masih ada di sana, berdiri membelakangiku. Kuperhatikan punggungnya. Utuh. Syukurlah, ia tidak menjadi sundal bolong. Setelah memastikan bahwa di belakangku tidak ada mobil lain, aku memundurkan sedikit mobilku agar posisi kami sejajar. Aku menoleh ke jendela sebelah kiri yang sudah kubuka sebelumnya.

“Nala?” tanyaku, memastikan.

Ia tidak menjawab. Sulit untuk melihat wajahnya, sebab rambut panjangnya tergerai ke samping dan menghalangi pandanganku.

“Nala, kan?” tanyaku lagi.

Ia masih tidak menjawab. Untunglah kemudian aku melihat ikatan tali berbentuk bunga di bagian belakang bajunya. Itu pasti Nala.

“Ayo masuk. Aku antar pulang,” ujarku.

Di luar dugaan, Nala mengangguk. Aku tahu bahwa hantu bisa menembus dinding, apalagi hanya pintu mobil, tapi sebagai seorang gentleman, aku berinisiatif membukakan pintu mobil sebelah kiri untuknya. Ia masuk ke mobil dan duduk di sebelahku, masih dengan rambutnya yang terurai panjang menutupi wajah. Entahlah, mungkin model rambut seperti itu memang tren wajib di kalangan para hantu perempuan.

Kujalankan lagi mobilku. Sama pelannya seperti tadi, sebab siapa tahu eksistensi Nala hanya bertahan di kilometer ini. Aku tak ingin cepat-cepat berpisah dengannya.

Aku mencoba memulai pembicaraan, tapi rasanya sulit sekali. Mulutku terasa kaku dan tanganku dingin, aku bahkan tak sanggup menggerakkan setir dengan luwes. Satu kilometer telah berlalu dan suanasa mobil ini masih senyap, seperti di kuburan. Lalu terpikir dalam benakku, aku telah berjanji untuk mengantarnya pulang, tapi pulang ke mana? Setidaknya ada dua tempat yang bisa kuanggap sebagai rumah Nala sekarang: rumah orang tuanya, atau kuburannya. Tergantung ia merasa dirinya seberapa mati.

Satu-satu dulu, kata hatiku bicara. Katakan apa yang ingin kukatan, setelah itu aku bisa mengantarnya pulang ke mana pun ia mau.

Sebuah ide terbersit dalam benakku. Untuk mencairkan suasana, kunyalakan musik yang kebetulan sudah terpasang di tape mobilku. Musik jazz yang romantis, entah siapa penyanyinya aku tidak tahu dan tidak peduli. Selama ini aku hanya mendengarkan musik rock dan dangdut. Meski aku tahu musik jazz sering sekali dianggap intelektual (entah subgenre yang mana), aku mendapatkan musik yang kunyalakan itu dari CD bajakan berjudul 20 in 1 Music for Erotic Moment.  Selama ini kukira aku tidak akan pernah menggunakan musik itu sesuai dengan yang disarankan dalam judulnya.

“Sudah lama menunggu?” tanyaku. Pertanyaan yang konyol, sebab aku tahu kapan ia meninggal, dan itu belum terlalu lama.

“Sudah … lama,” jawabnya pelan. Aku senang Nala mulai berbicara, meski kata-katanya terdengar parau dan serak. Tidak bisa disalahkan, orang yang baru mengalami kecelakaan pasti shock berat dan suaranya bisa berubah. Di luar dugaan, ia meneruskan jawabannya, “Seribu … tahun.”

Aku tertawa mendengarnya. Tak kusangka hantu bisa bercanda juga. Seolah ia sudah menungguku selama seribu tahun lamanya. Bukankah itu romantis? Aku jadi ingat lirik lagu yang dinyanyikan Christina Perri.

I have died every day, waiting for you. Darlin’ don’t be afraid, I have loved you for a thousand years.

Kamu tidak mati setiap hari, Nala. Kamu hanya mati satu kali. Dan tentu saja, aku tidak takut.

Membayangkan ia menyanyikan lagu itu untukku sambil diiringi dentingan piano membuatku merinding. Sayangnya, aku tidak memiliki lagu itu di pemutar musik mobilku. Aku tidak suka mengoleksi lagu yang terlalu mainstream, itulah kenapa aku tidak pernah hapal lagu yang dinyanyikan teman-temanku dalam setiap acara karaoke.

“Nala,” ucapku lagi.

Ia diam, masih menunduk saja.

Aku melanjutkan ucapanku, “Kamu cantik. Kamu cocok pakai baju pink.”

Sesuatu di dalam dadaku terasa lumer, ada perasaan lega yang melebar memenuhi seluruh tubuhku. Akhirnya aku mengucapkannya juga. Kata-kata itu selalu kutahan saat melihatnya di pesta, dan selalu kusesali saat ia pergi meninggalkanku. Selama beberapa menit kemudian, ia tidak menanggapi. Hingga akhirnya, pada Kilometer 38, ia berujar pelan.

“Terima kasih,” katanya, masih dengan suara yang sama.

Berkat memuji baju pink itu, semua unek-unek di dalam dadaku akhirnya membuncah keluar begitu saja. Kukatakan kepadanya bahwa aku sudah lama memperhatikannya. Sejak awal masa kuliah. Dulu, di semester dua, kami berada dalam satu kelompok tugas yang sama. Aku yang tidak begitu pandai berbicara di depan publik mencurahkan kemampuanku untuk melakukan riset, sementara Nala kubiarkan menunjukkan kemampuan public speaking-nya di depan kelas. Tentu saja ada anggota kelompok yang menjadi stereotip tukang numpang. Ia adalah Fredi, orang yang tidak pernah membantuku mengumpulkan data, dan menolak tampil saat presentasi, tapi ikut mengklaim nilai kelompok. Memang, ia bukan sama sekali tak berkontribusi. Sebagai “pemodal”, yang ia lakukan adalah memodali kami saat mengerjakan tugas, mulai dari biaya riset, transportasi, hingga membeli pizza, kami menggunakan uangnya–atau lebih tepatnya uang ayahnya. Namun tugas yang paling disukai Fredi adalah mengantar-jemput Nala, menraktirnya diam-diam, dan entah apa lagi.

Sejak saat itu perhatianku terhadap Nala dan kecemburuanku terhadap Fredi terus berkembang. Aku bertanya-tanya, sebagai perempuan yang cerdas, bagaimana mungkin Nala bisa tertipu oleh kegombalan Fredi dan mengabaikanku? Aku terus merasa bahwa perasaanku bertepuk sebelah tangan, hingga akhirnya pada pesta perayaan pasca-wisuda itu, aku menyadari bahwa Nala tidak benar-benar mengabaikanku. Ia mungkin menungguku, sama seperti aku menunggunya. Namun saat itu aku sudah terlanjur memendam harapanku dalam-dalam–sesuatu yang kemudian sangat aku sesalkan. Aku hanya memendam iri kepada Fredi, kepada keberaniannya dan kegigihannya untuk mendekati Nala, selalu mengikutinya ke mana saja, bahkan bisa mati bersama gadis pujaannya itu.

“Seandainya aku lebih berani, seandainya aku punya keberanian seperti Fredi, mungkin akulah yang mati bersamamu, Nala.”

Seusai mengucapkan kalimat itu, ada imajinasi liar yang berkelebat dalam kepalaku. Mungkin saja, aku memang memiliki keberanian itu. Mungkin akulah yang mati bersama Nala, menghantam pembatas jalan tol dan tewas seketika. Dan tanpa aku sadari, aku ini sebenarnya adalah hantu, yang mengulang-ulang jalan tol di sekitar Kilometer 37 setiap malam, mengantar Nala, lalu menghilang dan mengulanginya lagi. Nala adalah hantu berbaju pink dan aku adalah hantu bermobil ringsek. Kami menghantui jalan tol ini bersama-sama, selamanya.

Itu akan jadi ending cerita yang bagus, bukan? Sayangnya, itu sama sekali tidak benar. Aku tahu betul bahwa aku masih hidup, dan yang meninggal dalam kecelakaan itu adalah Nala dan Fredi. Nama mereka tercantum di surat-surat kabar, baik cetak maupun online. Kampus kami bahkan memasang foto mereka berdua di papan pengumuman ucapan belasungkawa. Semakin aku melihatnya, semakin aku iri. Foto mereka yang dipasang bersandingan itu sekilas tampak seperti undangan pernikahan.

Kilometer empat puluh sudah kulewati. Nala masih saja tak banyak bicara. Kupercepat sedikit laju mobilku, berhubung aku sudah kehabisan cerita untuk disampaikan. Sekarang tiba saatnya aku harus menentukan ke mana aku akan mengantarnya pulang.

“Kamu mau pulang ke mana, nih?” tanyaku.

Nala menjawab dengan singkat dan berat, “rumah”.

Aku tertawa lagi mendengar jawabannya. Leluconnya sangat basi, tapi bagiku sangat menyenangkan.

“Rumahmu yang mana?” tanyaku lagi, atau haruskah kukatakan: rumah manusia atau rumah kuburan? 

“Jauh,” jawabnya lagi.

“Enggak masalah. Aku antar kok.”

“Seribu tahun perjalanan.”

Kuhela napasku. Harus kuakui, lama kelamaan usaha Nala untuk bercanda agak menyebalkan. Apakah ia sudah tertular kegombalan Fredi?

Sebelum mengulangi pertanyaanku lagi, aku sempat melihat wajah Nala yang tertutup rambut dari kaca spion tengah. Sayang sekali kalau aku harus berpisah dengannya tanpa melihat wajahnya untuk terakhir kali. Aku paham, mungkin ia malu karena wajahnya rusak karena kecelakaan itu, makanya ia sengaja menutupinya sejak tadi.

“Aku ingin lihat wajah kamu untuk terakhir kali. Enggak peduli seperti apa sekarang.”

Terdiam setelah mendengar ucapanku itu, kemudian Nala menoleh ke arahku, ia menyibak rambutnya perlahan. Aku menahan napas, lalu melirik sedikit ke arahnya. Napasku tiba-tiba terasa sakit. Pandanganku berganti-ganti antara jalanan di depanku, dan wajah Nala di sebelahku.

Ketika aku yakin bahwa jalanan di hadapanku sepi, aku memberanikan diri menoleh. Namun yang kulihat di hadapanku itu buka Nala. Setidaknya, aku yakin bahwa sehancur apa pun wajah korban kecelakaan, tak mungkin memilih wajah seperti itu.

Ada sebuah mata di tengah wajahnya. Satu mata, besarnya hampir memenuhi seluruh wajah yang berwarna kehijauan. Lalu di atas mata itu ada bukaan yang mungkin adalah mulut, lengkap dengan gigi-gigi runcing yang tidak rata, menyeringai kepadaku. Di atasnya lagi, ada semacam antena kecil yang tumbuh dari bagian yang kuanggap adalah keningnya. Kemudian ia berbicara lagi, dengan suara yang lebih jelas, tapi tetap berat dan parau.

“Aku bukan Nala.”

Kakiku menekan rem berkali-kali, tapi mobil tak juga berhenti. Bahkan ketika pedal gas tak kutekan sama sekali, mobilku tetap melaju dalam kecepatan konstan. Ketakutan yang seharusnya kurasakan sejak tadi, baru mulai menyergapku dan menelanku hidup-hidup.

“Siapa kamu?” tanyaku dengan suara gemetar.

“Aku sudah menunggu … seribu tahun … menunggu manusia menemukanku,” jawabnya. Mata besar itu berkedip-kedip, kemudian seringai di mulutnya semakin lebar. Ia terkekeh-kekeh, mungkin menertawai kebodohanku.

Makhluk itu, makhluk yang duduk di sebelahku itu, menolak menjelaskan mengapa ia bisa mengenakan baju pink Nala dan mengapa ia mau masuk ke dalam mobilku. Kuterka, ia mungkin mengambil baju dari hantu Nala yang sebenarnya. Atau kembali lagi ke teoriku semula, hantu Nala mungkin memang tak pernah ada.

Aku sama sekali tak pernah membayangkan bahwa aku akan mengungkapkan cintaku kepada sesosok makhluk mengerikan yang mungkin datang dari dunia lain. Tanpa bisa menghentikan mobil, apalagi melarikan diriku, aku hanya pasrah. Sesekali, di tengah perjalanan yang sangat panjang itu, aku melihat hantu Nala dan Fredi yang sedang bergandengan tangan menyusuri tepi jalan. Namun aku tak bisa memanggil mereka, aku harus mengantarkan makhluk ini pulang, pulang ke rumah yang menurutnya “seribu tahun perjalanan”.

Bahkan sekarang pun, aku baru tiba di Kilometer 3451. Entah siapa yang membangun jalan tol sepanjang ini … tanpa area peristirahatan.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).