Kremasi Sunyi

Seperti biasa, saat liburan aku memang menjadi manusia kalong. Bahkan pada pukul dua pagi itu di mana orang-orang biasanya sudah tertidur pulas, aku masih menulis novel di kamar kontrakanku yang sempit, ditemani secangkir kopi dan musik instrumental dari speaker komputerku. Orang bilang, efek kafein adalah meningkatkan denyut jantung sekaligus meningkatkan keinginan buang air, bagiku efeknya lebih dari itu. Kopi membuatku lapar. Aku mengambil toples dan memeriksa isinya, tinggal sepotong biskuit dan remah yang tidak akan sanggup mengganjal perut. Lalu aku ingat, tidak jauh dari tempat tinggalku—mungkin hanya berselang dua atau tiga rumah—terdapat sebuah warung indomi yang biasanya buka dua puluh empat jam. Itulah tujuanku, aku berniat mengisi perut dengan mi rebus panas sembari rehat menghapus penat. Aku bangkit, mengambil dompet dan keluar dari kamar sambil membiarkan komputer tetap menyala. Namun celakanya, ketika kuperiksa isi dompet, tak ada uang sepeserpun. Mau tidak mau aku harus pergi ke ATM, kalau tidak salah waktu itu aku masih menyimpan seratus ribu rupiah di sana. Dan tentu saja, semua ATM di sekitar tempat tinggalku buka dua puluh empat jam. Jadi, sebelum aku pergi ke warung indomi, aku pun memutuskan pergi ke ATM terlebih dahulu.

ATM yang kumaksud ada di samping kantor BNI yang cukup besar, di depannya ada jalan raya dan beberapa kios fotokopi. Pada jam selarut itu, suasananya luar biasa sepi. Tak ada mobil yang berlalu-lalang sama sekali, semua warung dan warteg di sekitar situ pun sudah tutup. Ketika aku menyebrangi jalan raya yang kosong, sempat terpikir untuk tidur-tiduran di tengah jalan, sebab tak mungkin melakukan hal itu di siang hari tanpa terlindas mobil. Namun tentu saja aku tak benar-benar melakukannya, aku harus segera mengambil uang dan mengisi perutku yang lapar.

 

ATM itu ada di dalam wilayah perkantoran, sehingga dibatasi oleh pagar besi yang cukup tinggi. Kalau sudah tengah malam, pintu pagarnya akan ditutup sehingga mobil tak bisa masuk, namun masih disisakan sedikit celah untuk orang-orang yang mendadak harus pergi ke ATM sepertiku. Untunglah tubuhku kurus, jadi aku bisa lewat di sela-sela pintu pagar. Lalu aku pun berjalan ke arah barisan bilik ATM. Ada empat bilik: dua bilik untuk pecahan lima puluh ribu, dan dua bilik untuk pecahan seratus ribu. Karena aku kurang percaya diri dengan jumlah tabunganku, aku pun memilih bilik untuk pecahan lima puluh ribu.

Udara malam itu sangat dingin. Bahkan sebelum aku masuk ke dalam bilik ATM pun, aku sudah cukup menggigil. Dan ketika aku membuka pintu ATM, perlahan hembusan angin dari AC keluar dan menyentuh tubuhku, seakan ingin membuat tulang-tulangku beku. Aku segera melangkahkan kaki ke dalam bilik ATM dan menutup pintunya. Saat itu aku membayangkan diriku seperti orang yang masuk ke dalam kulkas. Tanpa berlama-lama, aku segera memasukkan kartu ATM-ku, menekan nomor PIN, lalu mengecek saldo. Ternyata memang benar, masih ada seratus ribu lagi, langsung saja aku ambil semua. Ada suara gesekan pelan ketika aku menunggu kertas receipt dicetak. Biasanya suara dari mesin print itu tak terdengar saat siang, mungkin karena malam itu sangat sepi, jadi suara pelan itu pun terdengar begitu nyaring. Bagiku suaranya seperti suara perempuan yang tertawa cekikikan.

 

Tiba-tiba sesuatu yang keras memukul dinding kaca sebelah kanan. Suara beturan terdengar kuat sementara dinding kaca itu bergetar sesaat. Aku kaget setengah mati dan menoleh secara refleks. Di sebelah kananku, di bilik ATM yang berhimpitan dengan bilik tempatku berada, seorang lelaki berdiri dengan kedua tangan bertumpu ke dinding kaca. Ia menatapku, seolah tatapannya dapat menembus dinding kaca itu. Lelaki itu wajahnya seperti orang yang sedang kelelahan, punggungnya naik-turun, mulutnya terbuka dan mengambil nafas tanpa henti. Ia menggedor-gedor dinding kaca sambil menggeram pelan. Hal yang sanggup muncul dalam benakku saat itu adalah: Apa dia perampok? Apa dia ingin mengambil uang simpananku yang tinggal seperak ini? Tapi bagaimanapun juga, aku tak merasa bahwa memukul dinding ATM dan menggeram adalah cara yang bagus untuk merampok.

Yang membuat suasana menjadi semakin aneh, adalah udara di sekelilingku berubah menjadi hangat, atau setidaknya dinginnya AC menjadi berkurang drastis. Semakin lama pria itu menggeram, semakin gerah aku. Lalu tiba-tiba saja, sesuatu yang di luar akal sehat terjadi. Pria itu terbakar. Mula-mula nyala api muncul di lengan kirinya, melahap kain kausnya yang berwarna hitam, lalu menyebar hingga ke punggung. Pria itu tidak lagi menggeram, ia melolong dan sepertinya berusaha meminta tolong. Tapi api itu sangat cepat, seolah-olah tubuh pria itu sudah dilumuri bensin sebelumnya. Dalam waktu kurang dari satu menit, api itu sudah menyelimuti seluruh tubuhnya. Aku terpana karena panik, sehingga aku hanya bisa diam menyaksikan pria itu berlutut, lalu berguling-guling di lantai, dan pada akhirnya ia habis menjadi abu. Memang kedengarannya sangat aneh, tapi tubuhnya memang benar-benar habis tanpa sisa, kecuali sepotong kaki kirinya (dari lutut hingga ujung jari) yang diam tergeletak seperti habis dimangsa sesuatu. Bau hangus menusuk hidungku dan membuat lututku lemas. Aku sempat merasa pusing dan nyaris muntah.

Sekarang aku tahu bahwa orang itu bernama Randu. Orang yang tubuhnya habis dimakan kobaran api dalam proses yang sangat cepat dan aneh. Spontaneous Human Combustion, itulah hal yang pertama kali muncul dalam benakku sesaat setelah menyaksikan peristiwa itu. Aku pernah membacanya di internet, Spontaneous Human Combustion atau pembakaran manusia secara tiba-tiba adalah sebuah fenomena aneh yang pernah terjadi di berbagai tempat di dunia. Selama lebih dari tiga ratus tahun, terdapat sekitar dua ratus kasus di mana manusia bisa terbakar tanpa sebab, dan kemudian hangus menjadi abu. Konon catatan mengenai peristiwa itu pertama kali muncul di Denmark pada tahun 1663 dan masih terus berlanjut hingga November 2009 lalu di Florida. Berbagai teori mulai dari penjelasan ilmiah hingga supranatural dikemukakan untuk menjelaskan fenomena ini, namun tak ada satu pun yang benar-benar meyakinkan. Lalu apakah aku telah menyaksikan salah satu fenomena SHC di depat mataku sendiri?

Setelah menyelidiki kehidupan Randu beberapa waktu sebelum ia tewas, aku rasa aku dapat membuat sedikit hipotesis.

Dua minggu sebelum ia terbakar, Randu bisa dibilang sangat sehat wal’afiat, apabila kita mengesampingkan pola hidupnya. Ia adalah seorang mahasiswa, tapi juga sekaligus musisi, black metal lebih tepatnya. Ia sering minum minuman beralkohol, mabuk-mabukan, merokok, bahkan sesekali menghisap ganja. Dalam standar gaya hidup Randu, saat itu ia benar-benar sehat, setidaknya ia masih bisa bercinta dengan perempuan.

Di kalangan musisi black metal, ia sedikit banyak adalah seorang poseur. Ia berasal dari keluarga yang kaya, ia tidak terlalu peduli dengan sejarah dan filosofi musik yang dimainkannya, dan gaya hidupnya sebagian besar sangat hedonistik. Satu lagi, ia juga tidak menyembah setan, sebagaimana ia tidak menyembah tuhan. Setidaknya ia dan teman-teman satu grupnya bisa membaur dengan cukup baik menggunakan kostum serba hitam dan kemampuannya menggeram sebagai seorang vokalis, selama tak ada musisi lain yang mengajaknya berdiskusi tentang hal-hal sulit. Aku tidak tahu apakah geramannya sebagai vokalis sama dengan geraman yang ia keluarkan saat ia hendak terbakar waktu itu, tapi sepertinya untuk jenis musik itu, suaranya tidak buruk. Ia punya band yang bernama Skullburn (ironis memang) yang beranggotakan tiga orang selain dirinya: Geo sebagai gitaris, Korri sebagai drummer, dan Johan sebagai basis. Bahkan di dunia underground sekalipun, mereka tidak bisa dibilang terkenal. Hanya beberapa kali ikut festival dan tidak pernah menang, selanjutnya sesekali manggung sambil membawakan lagu dari band lain yang sudah legendaris.

Kira-kira dua hari menjelang liburan kuliah, ia masih datang ke kampus dan menggoda mahasiswi adik kelasnya. Di kampus kami (ya, aku dan dia satu kampus, tapi beda jurusan) mahasiswa yang akan naik tingkat dari tingkat satu ke tingkat dua harus menjalani semacam OSPEK terlebih dahulu. Randu dan gengnya adalah mahasiswa tingkat tiga, jadi ia tidak mungkin melewatkan kesempatan untuk bisa bersenang-senang dengan adik kelas. Dalam kesempatan itulah ia mengenal seorang perempuan bernama Devina.

Devina adalah seorang perempuan yang cukup menarik untuk ukuran adik kelas. Badannya memang bisa dibilang pendek, tapi berisi, terutama bagian dada dan bokongnya. Mungkin itulah yang membuat Randu tertarik padanya saat pertama kali berjumpa, karena tubuh Devina mengingatkan dia pada salah satu gitar akustik di rumahnya. Devina juga memiliki wajah yang menarik, tidak terlalu cantik memang, tapi tomboy dan senyumnya seksi. Rambutnya hitam pekat dan bibirnya tipis, dan ia selalu memakai baju serba hitam—atau hitam-putih terkadang.

Aku tahu wajahnya dari akun Facebook yang ia miliki, dan aku menemukannya dengan mudah. Oh, bahkan aku tahu banyak mengenai identitas orang-orang ini hanya dari akun Facebook dan Twitter mereka (Randu punya Twitter, tapi Devina tidak). Facebook Randu penuh dengan ratusan foto. Kebanyakan foto-foto saat ia tampil di atas panggung, dan sebagian lagi foto dia bersama teman-temannya saat mabuk-mabukan di klub. Melihat cara dia berpose di beberapa pose, aku heran bisa ada ada anak metal yang begini narsis, walau masih menunjukkan gestur tiga jari yang terkenal itu.

Sementara itu, Devina tidak banyak memasang foto di akun Facebook-nya. Hanya tiga buah foto yang dapat kuakses, mungkin karena aku belum terdaftar sebagai temannya. Dua buah foto merupakan foto dirinya yang diambil setengah badan, dengan tone yang agak gelap dan kontras yang cukup tinggi. Dia bukan tipe perempuan pada umumnya yang senang berfoto close-up (dan kemudian menaikkan tingkat kecerahan foto supaya kulitnya jadi ikut cerah), ia tampak seperti perempuan pemalu yang malu-malu memasang foto dirinya di Facebook. Satu lagi foto yang ia pasang malah bukan foto, melainkan semacam simbol. Seperti gambar sebuah bintang berujung lima dan sebuah bintang terbalik yang ditumpuk dengan latar belakang warna hitam.

Pasti logo itulah poin tambahan yang membuat Randu sangat tertarik pada Devina. Satu hari menjelang acara Ospek itu Randu datang mengunjungi adik-adik kelasnya, sekedar untuk menakut-nakuti atau malah tebar pesona. Aku dapat membayangkan ia berjalan dengan angkuh ke depan kelas, dengan mengenakan jaket kulit yang harganya mahal, rambut gondrong yang sebenarnya habis ditata di salon, dan jeans sobek-sobek yang tidak sobek secara alami. Ia merasa dirinyalah senior paling cadas di antara mahasiswa senior yang lain, dan itu membuatnya luar biasa bangga. Ia tidak datang sendiri, ia pasti datang dengan teman segengnya. Lalu sementara salah satu temannya membacakan pengumuman, ia akan berjalan-jalan dan menatap wajah juniornya satu persatu. Hingga tatapannya berhenti di wajah Devina, bibirnya yang tipis, dan eyeliner yang membuat perempuan itu nyentrik. Cewek gothic, sangat cocok buat dirinya, ia pun merasa kalau mereka sejenis. Hanya saja ia keliru menilai siapa yang asli dan siapa yang palsu.

“Nama lo siapa?” tanya Randu dengan suara yang ramah namun berat. Imejnya, dia bukan senior yang galak, tapi dia adalah senior yang berkharisma.

“Devina,” ucap perempuan itu. Rasanya ada yang kurang. Mana panggilan ‘kak’-nya? Tapi Randu tidak akan ambil pusing, ia suka perempuan yang angkuh.

“Besok ikut kan?” tanya Randu sambil mengambil sebuah buku tulis yang tergeletak di meja Devina.

“Iya.”

Randu membolak-balik halaman buku tulis itu. Catatan perkuliahan. Seperti anak sekolahan saja, mana ada mahasiswa yang mencatat pelajaran di buku semacam ini? Lalu ketika ia tanpa sengaja membuka halaman terakhir buku tulis itu, ia menemukan simbol tadi. Ya, simbol dua bintang bertindihan yang aku temukan di Facebook Devina. Kemudian Randu akan terperanjat senang. Ia memperhatikan simbol itu sambil tersenyum, lalu berujar dengan antusias.

“Mephistoros!”

Devina kaget, tapi ia tidak mejawab apa-apa. Itu bukan sebuah pertanyaan dan ia tidak perlu menjawab.

“Lo suka Mephistoros?”

Devina mungkin akan bingung, berpikir sejenak, lalu kemudian menganggukkan kepala tanpa menunjukkan antusiasme sama sekali.

Mephistoros adalah salah satu nama band black metal yang cukup terkenal dan disegani. Aku tidak tahu banyak tentang band itu, tapi yang kutahu Randu menggemari Mephistoros. Aku sempat mencarinya di internet dan aku menemukan bahwa hal yang membuat Mephistoros menjadi terkenal adalah rumor bahwa mereka merupakan satu-satunya band penyembah setan sungguhan di kota ini (band-band yang lain hanya menggunakan gambar-gambar setan supaya terlihat keren).

Aku juga melihat foto-foto personil band-nya, mereka semua tampak gila. Entah make up macam apa yang mereka pakai hingga wajah mereka tampak sangat berantakan. Corpse-paint mereka tidak sekedar putih, tapi memiliki warna suram yang membuat wajah mereka seperti membusuk. Lalu tato-tato aneh yang mulai menjalar dari pipi, leher, dan entah sampai mana. Salah satu dari mereka bahkan menanam implant di kepalanya sehingga tampak seperti memiliki tanduk, seperti Hellboy. Atau penderita tumor. Aku heran bagaimana mereka bisa pergi ke supermarket atau ke ATM tanpa menjadi pusat perhatian. Dan sepertinya Randu mengklaim dirinya sebagai penggemar Mephistoros hanya agar orang-orang menganggap dia sebagai metalhead sejati. Oh, aku yakin Randu tidak akan berani membuat tanduk semacam itu di kepalanya.

“Kalau gitu lo mesti liat mereka manggung besok. Terbatas, tapi gue punya tiket lebih,” ujar Randu sambil mencoret-coret gambar di buku Devina, menambahkan beberapa garis, lalu membuat tulisan Mephistoros tepat di bawah simbol itu.

“Tapi kan…,” Devina ragu-ragu, ia pikir seniornya ini akan memaksanya ikut Ospek, dan bukannya konser.

“Alah, udahlah….,” Randu mendekatkan mulutnya ke telinga Devina, lalu berbisik pelan sambil melirik ke arah salah seorang temannya yang sedang memberitahukan susunan acara, “…acara kaya gitu cuma buat mahasiswa cupu! Mending lo ikut gue aja, ntar gue kenalin sama senior-senior metal yang lainnya.”

Entah karena tak mengerti atau tak peduli, Devina hanya mengangguk dan mengiyakan. Randu pasti senang sekali. Berbagai rencana kotor mulai terbentuk di dalam otaknya, dan ia merasa sangat percaya diri karena meyakini Devina akan sangat mudah dikendalikan oleh senior seperti dirinya. Sambil memberikan senyum konfirmasi, Randu pun perlahan berjalan meninggalkan tempat duduk Devina sambil membawa buku tulisnya.

“Buku tulisnya…,” ujar Devina.

“Besok lo ambil di tempat konser. Kalo besok lo ga dateng, berarti buku catatan ini juga nggak akan kembali,” jawab Randu pelan, sambil memasang wajah cuek.

Tapi pada kenyataannya Randu tidak pernah mengembalikan buku catatan itu, sebab buku itu sekarang ada di tanganku. Tidak terlalu sulit untuk mendapatkannya dari salah seorang teman kost Randu, sebab mereka terlalu takut untuk menyimpan barang-barang peninggalan Randu.

Sehari setelah kejadian itu, Devina benar-benar datang ke konser Mephistoros seperti yang diharapkan Randu. Konser itu sedikit berbeda dari konser metal pada umumnya, sebab diadakan di ruang tertutup di sebuah klub dan tiket yang sangat terbatas. Aku rasa konser itu memang ilegal dan agak dirahasiakan dari pihak berwajib karena katanya konser spesial itu hanya untuk pengikut setan sejati. Randu memang bukan salah satunya, tapi dia punya banyak uang dan koneksi, jadi ia bisa mendapatkan tiket lebih.

Saat Devina datang, konsernya tampak hampir dimulai, namun Randu masih setia menunggu di pintu masuk. Ia melambaikan tangan, memberi tanda agar Devina segera menghampirinya. Saat itu Devina memakai pakaian biasa; celana jeans selutut, kaos hitam polos, dan jaket yang juga berwarna hitam, tapi bagi Randu penampilan itu tampak seksi. Gadis itu mendekat ke arah Randu tanpa ekspresi wajah yang bisa dibaca, lalu Randu memberikannya sebuah tiket. Tiket diserahkan pada penjaga pintu, pintu dibuka, dan seketika itu juga suara raungan musik yang memekakkan telinga menerobos keluar dari dalam ruangan.

Selamat datang di neraka, kata penjaga pintu.

Semua orang di dalam ruangan itu mengenakan pakaian serba hitam, beberapa tampak sedang asyik menikmati lagu. Mereka adalah orang-orang yang unik, orang-orang yang berbeda dari anggota masyarakat lain, bahkan dalm subkultur sekalipun, mereka tetap unik.

Berdasarkan informasi yang kudapatkan, Randu dan kawan-kawannya cukup akrab dengan personil Mephistoros. Aku pikir itu karena Randu-lah yang selama ini sering memberi bantuan finansial kepada band itu. Jadi saat band pembuka masih beraksi, Randu membawa Devina menemui vokalis Mephistoros, nama panggilannya Obei. Obei adalah lelaki botak yang kubilang mirip Hellboy itu.

“Bei, kenalin, ini Devina. Devina, lo pasti udah kenal siapa dia kan?” ucap Randu yang berdiri di antara Obei dan Devina.

“Siapa nih? Cewek baru lo?” tanya Obei sambil memandangi Devina dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Junior gue,” Randu menyela.

Setelah berbincang sejenak, mereka pun berpisah, sebab sekarang giliran Mephistoros untuk tampil semalaman suntuk. Randu mengambil dua gelas minuman dan memberikan salah satunya pada Devina, sementara Obei langsung naik ke panggung.

“Lo semua siap? Malam ini kita ada ritual,” ucap Obei di depan mikrofon, dengan suara yang rendah dan berat, dan itu memang suara aslinya.

Hentakan drum bertubi-tubi terdengar bagaikan detak jantung orang yang sedang ketakutan, lalu suara power chord gitar yang penuh distorsi mengolahnya menjadi seperti suara tembakan senapan mesin. Beberapa hentakan lagi, dan Obei mulai meraung. Para pengunjung yang sudah datang sejak tadi kembali berkumpul di depan panggung. Mereka menghentak-hentakkan kepala mengikuti irama musik yang semakin lama semakin brutal, beberapa orang membuat lingkaran di depan panggung. Mungkin ada keasyikan tersendiri bagi mereka yang berambut panjang, karena kupikir mereka bisa membuat baling-baling helikopter dengan rambut itu.

Awalnya Devina hanya menonton dari pojok ruangan sambil meminum minuman yang diberikan Randu. Namun Randu memaksa gadis itu untuk ikut bergabung dengan kerumunan.

“Ayo! Headbang!” ajak Randu sambil menarik lengan Devina dengan agak kasar.

Sebenarnya Devina ingin menolak, tetapi sesuatu di dalam minuman itu membuat pertahanan mentalnya menjadi lemah. Ia tidak kuasa menolak ajakan Randu, dan akhirnya ikut bergabung di tengah kerumunan. Mungkin ia mabuk alkohol, mungkin Randu memasukkan sejenis obat ke dalam minumannya, tapi yang jelas beberapa detik kemudian ia sudah ikut menghentak-hentakkan kepalanya, seperti orang yang sudah berpengalaman.

Segalanya tampak menyenangkan. Adrenalin meningkat, energi meluap-luap. Devina mungkin ikut menikmati suasana itu, namun pada hentakan kesekian, seluruh tenaganya seperti ditarik keluar. Suara musik yang meraung-raung perlahan-lahan memudar, berubah menjadi suara dengungan yang panjang. Pandangannya masih saja berguncang meskipun kepalanya sudah tidak mengangguk, dan kemudian semua yang dilihatnya berkumpul menjadi satu dalam sebuah titik putih berlatar hitam.

Selanjutnya, Devina tidak lagi menikmati konser itu. Ia kehilangan kesadaran dan ingatannya akan waktu. Saat ia tersadar, kepalanya masih terasa berat dan pusing. Sesuatu di dalam kepalanya masih melakukan headbang, dan tubuhnya seperti sangat kelelahan. Ia mengusap wajahnya dan mencoba melihat keadaan sekeliling. Di manakah ia berada? Ia mengira kalau ia pingsan saat sedang menikmati konser, dan sekarang mungkin sedang tiduran di sofa di klub itu.

Namun itu tidak benar. Saat pandangan matannya mulai kembali normal, ia sadar bahwa ia ada di sebuah ruangan yang cukup nyaman, sebuah kamar lebih tepatnya. Ia teletang di atas kasur per berseprei putih, sementara cahaya remang berpendar pelan dari lampu meja di sebelhnya. Kamar itu adalah kamar hotel, dan seperti yang sudah bisa ditebak oleh semua orang, Devina saat itu tidak mengenakan sehelai benangpun di tubuhnya. Merasa terkejut, refleks ia memeriksa seprei yang ia tiduri, dan ia menyadari ada bercak darah yang menempel di antara kedua kakinya. Ia telah diperkosa, ia tahu itu. Randu mungkin sudah beberapa kilometer jauhnya dari tempat itu, menyadari bahwa di luar dugaannya ternyata Devina masih perawan.

Perempuan mana yang tidak akan marah ketika keperawanannya dicuri secara licik oleh orang yang tidak ia inginkan? Devina tidak benar-benar mengenal Randu. Mungkin ia menuruti ajakan Randu sekadar karena tergoda bisa menghindari acara Ospek, atau mungkin ia berharap buku catatannya dikembalikan. Ya, buku catatan, buku yang membuat Randu tertarik pada Devina dan tak pernah dikembalikannya. Semua catatan pelajaran yang ada di dalamnya mungkin tak ada yang diingat Devina, tapi untuk simbol yang satu itu, ia tak mungkin bisa lupa.

Randu memang salah mengerti. Devina tidak tahu apa-apa soal Mephistoros, dan simbol yang ada di buku catatan Devina sama sekali bukan logo band Mephistoros. Itu adalah lambang yang tidak akan dimengerti oleh seorang poser berwawasan dangkal seperti Randu, sebab simbol itu jauh lebih brutal dari semua musik yang pernah ia dengar.

Kepala Devina masih terasa berat dan berguncang-guncang. Ia pusing. Pusing dan marah. Tanpa sempat berpakaian terlebih dahulu, ia segera bangkit dan mengambil tas kecilnya yang tergeletak di lantai. Ia merogoh ke dalam tas itu, mencari-cari sesuatu. Sebuah spidol. Bukan, tapi sebuah lipstik. Perempuan membawa lipstik bukan hal yang aneh, tapi bibir Devina selalu berwarna pucat, dan ia tidak pernah mengoleskan lipstik yang ia bawa ke bibirnya. Lipstik di dalamnya memiliki fungsi yang agak berbeda.

Ia gunakan lipstik itu untuk menggambar lingkaran di atas lantai hotel yang berwarna putih. Lalu ia membuat simbol itu, simbol dua bintang yang saling bertindihan. Dengan nafas yang memburu, kepala yang berat, dan kemarahan yang tak bisa ditunda, ia membuat sebuah simbol sihir di samping tempat tidur. Ia menggeram kesal. Sesuatu yang selama ini terlelap di dalam dirinya sekarang sudah bangkit. Devina yang sebenarnya, adalah Devina yang tanpa ampun.

Dengan terburu-buru, ia melepaskan seprei tempat tidur hotel. Bukan sepreinya yang penting, tapi adalah salah satu bagian seprei itu yang terkena cipratan sperma Randu (kalau itu benar, setidaknya ia tak perlu takut hamil). Ia merobek bagian seprei itu, lalu ia lemparkan ke tengah-tengah lingkaran simbol sihir. Sekarang persiapannya sudah selesai. Kemarahan memaksanya untuk melakukan sesuatu yang sudah sangat lama tak pernah ia lakukan. Biar Randu tahu, siapa Devina sebenarnya.

“Lo siap? Malam ini kita ada ritual,” gumam Devina dengan suara yang rendah dan berat, dan itu memang suara aslinya. Walau mungkin saja saat itu ia sedang menahan tangis.

Lalu dimana Randu saat itu? Ia mungkin sedang duduk di dalam mobilnya, dalam perjalanan pulang atau untuk kembali ke tempat konser. Bagaimanapun ia telah meninggalkan konser itu lebih awal karena mendapat hiburan lain yang lebih cocok dengan nalurinya. Saat itu pukul dua malam, udara terasa dingin, jadi Randu mematikan AC mobil dan tidak melepas jaket kulitnya.
Mungkin ada sedikit rasa takut dan menyesal atas apa yang telah ia perbuat, namun ia menenangkan dirinya sendiri dengan terus berkata bahwa ia bisa membuat Devina tutup mulut. Ia juga menyesal kenapa harus begitu panik dan meninggalkan Devina di kamar hotel, padahal hal itu bisa saja membuat keadaan menjadi lebih buruk.

Ia menyalakan radio, mencari-cari siaran yang masih bertahan. Hanya musik-musik dugem yang terdengar menghentak-hentak dari salah satu frekuensi. Oh, dia suka itu. Itu adalah kesukaan rahasianya, tak ada rekannya yang tahu kalau ia suka musik disko. Ia merasa sudah bosan dengan metal dan ingin beralih menjadi anak dugem saja, itu yang akhir-akhir ini muncul di pikirannya.

Namun tiba-tiba saja udara menjadi panas. Ia tidak tahu kenapa, pikirnya mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Jadi ia nyalakan lagi AC mobilnya dan melepas jaket, berharap itu bisa memberinya sedikit kesejukan. Tapi lima menit kemudian ia menyadari bahwa suhu tubuhnyalah yang sebenarnya menjadi semakin panas, dan AC itu tak memberikan efek sama sekali. Kulit punggungnya terasa seperti terbakar, ia menggeliat dan mengibas-ngibaskan kaos yang ia pakai. Rasa panas itu lalu menjalar ke leher, lalu ke wajahnya, dan akhirnya sampai di mata. Bola matanya seperti dicolok menggunakan besi panas, rasanya pasti amat pedih. Ia menginjak rem, menghentikan mobilnya di tengah jalan yang sepi, lalu ia segera keluar.

Udara malam di ruang terbuka sama sekali tak membuat rasa panas itu menghilang. Ia lalu berlari, mencoba mencari air, atau mencari orang yang bisa menolongnya. Tapi dia memang sial, di tempat itu tak ada air dan tak ada satu rumahpun yang penghuninya masih bangun. Ia terus berlari sambil menggeram dan mendesis-desis, seperti orang yang kepedasan karena banyak makan cabe. Rasa panas itu kini sudah mencabik-cabik seluruh wajahnya; hidungnya, lidahnya, telinganya, dan akhirnya merasuk ke dalam otak. Otak yang panas akan membuat orang menjadi gila. Persis, itulah yang dialami Randu. Namun di ambang kewarasannya, ia melihat sebuah galeri ATM yang baginya tampak dingin.

Apa yang ada di dalam pikirannya hanyalah cara untuk mendinginkan tubuh. Ia berlari masuk ke dalam ATM itu. Ia menanti sebuah hawa dingin yang keluar dari dalam bilik ATM yang siap mengigit tulangnya, tapi itu sia-sia. Ketika pintu ATM dibuka, ia tak merasakan apa-apa, bahkan tak ada perubahan suhu sama sekali. Ia tetap panas dan terbakar. Dengan perasaan nyaris putus asa, ia masuk ke dalam bilik ATM, lalu menempel ke dinding kaca, berharap kaca itu terasa dingin. Tetap tak ada perubahan.

Panas itu sudah mencakar-cakar kakinya, membuat ia terjatuh dan meringkuk di sudut bilik. Lalu ia mulai bisa mencium bau hangus dari tubuhnya sendiri. Bagian mana yang terbakar? Ia panik dan memeriksa sekujur tubuhnya, hingga ia sadar bahwa sepercik api sudah muncul di rambutnya. Ia gosok-gosok rambutnya, berharap bisa memadamkan api itu, tapi kepalanya malah semakin panas. Kerongkongannya terbakar, rasa haus tak terkira menyerang dirinya. Sebentar lagi ia akan benar-benar gila.

Pada saat itulah, aku masuk ke dalam bilik ATM. Randu menyadari kedatanganku, ia bangkit sekuat tenaga, memukul-mukul dinding kaca, lalu berteriak minta tolong. Namun saat itu panas tubuhnya sudah tak dapat dipadamkan lagi, lonjakan suhu meningkat drastis tanpa banyak aba-aba. Dalam sekejap, ia terbakar dan berubah menjadi abu. Devina telah memberi balasan tanpa ampun atas perlakuan seniornya itu. Saat itu aku ternganga mencoba mencerna apa yang terjadi, hingga akhirnya sekarang aku bisa menceritakan semua kisah ini.

Memang hanya sebuah perkiraan, tapi aku yakin ceritaku ini sangat mendekati kenyataan. Kalaupun tidak, itu tidak terlalu masalah, lagipula aku bukan penyidik kepolisian. Cukup aku yang harus tahu dan berhati-hati terhadap perempuan penyihir bernama Devina itu. Kalaupun kubeberkan hasil penyelidikanku ini pada polisi, toh mereka juga tidak akan percaya. Bisa-bisa aku malah disangka orang gila. Aku tidak mau mencari masalah, sudah untung statusku hanya menjadi saksi dalam peristiwa itu, mereka tidak menjadikan aku sebagai tersangka pembakaran manusia.

Aku merebahkan badanku di atas kasur dan mulai berangan-angan. Apa yang seharusnya kulakukan? Apakah aku harus menjadi pahlawan dan menyelamatkan bumi dari penyihir api berbahaya itu, atau aku akan menjadikan semua temuan itu sebagai sebuah novel saja? Tapi mengetahui bahwa seorang manusia bisa terbakar secara mendadak seperti itu, ternyata membuatku agak ketakutan juga.

Tok! Tok! Tok!

Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku segera bangkit dan membukakan pintu tanpa prasangka apapun. Seseorang berdiri di sana. Seseorang yang paling tidak ingin kutemui untuk saat ini dan selama-lamanya. Ia memakai sweater hitam bertudung, dan celana jeans yang sobek di bagian lututnya. Ia menatapku dengan sangat tajam. Aku segera mundur beberapa langkah sampai punggungku terhempas ke dinding.

“Ngapain lo disini?” tanyaku panik.

“Gue mau tanya soal Randu. Bukan, bukan, tapi soal diri lo,” ucap perempuan itu, Devina, dengan suara yang sangat serius.

Mungkinkah ia sadar bahwa selama ini aku menyelidikinya, lalu ia marah, dan sekarang ingin membakarku hingga menjadi abu? Bagaimana mungkin? Lalu aku teringat pada buku catatan itu, buku catatan milik Devina. Aku benar-benar ceroboh. Seharusnya aku tidak mengambil buku itu dari tempat kost Randu. Ia pasti mengetahui keberadaanku saat sedang mencari-cari buku itu.

Dengan gerakan yang cepat, aku segera mengambil buku catatan itu yang tergeletak di sebelah komputer.

“Nih! Ini! Lo cari ini kan?” ucapku sambil melemparkan buku itu ke arahnya.

Merasa buku itu hampir saja mengenai wajahnya, ia langsung menggunakan tangan kanannya untuk menepis buku. Sekarang aku baru bisa melihat benda apa yang ia pegang di tangannya yang sejak tadi ia sembunyikan di balik punggung. Sebuah pisau, ya, pisau belati dengan warna merah dan ukiran yang rumit. Ini benar-benar berbahaya.

“Gue janji, gue nggak akan bilang siapa-siapa! Rahasia lo aman, percaya sama gue!” ucapku terbata-bata.

Ia mengerutkan alisnya, seperti orang yang bingung, atau seperti orang yang sedang berkonsentrasi. Mungkin ia sedang berkonsentrasi untuk menyalakan api di sekujur tubuhku. Selama beberapa menit kemudian kami terdiam, saling menatap tanpa suara. Bedanya aku menatap dia dengan panik, sementara ia terlihat begitu tenang—hanya tangan kanannya saja yang siaga menggenggam pisau. Setelah merasa tidak kuat menggantung kesunyian ini, akhirnya aku membuka mulut lagi.

“Iya, iya! Gue emang tahu elo yang ngebakar Randu. Gue yang selama ini nyelidikin lo. Tapi suer, nggak ada orang lain yang tahu!” aku berusaha meyakinkannya, berusaha meraih kepercayaannya. Kalaupun aku harus menjadi budak wanita penyihir ini, aku rela, asalkan aku tidak mati menjadi abu seperti Randu.

“Jadi…, jadi lo belom tahu?” ucapnya pelan.

“Gue udah tahu, tapi orang lain nggak ada yang tahu!” jawabku.

Ia menghela narfas, menatap mataku dalam-dalam, lalu menurunkan tangannya yang menggenggam pisau. Aku berdoa dalam hati, semoga saja wanita ini tidak membunuhku sekarang. Keringat mengucur di pelipisku. Apakah keringat ini muncul karena panik, ataukah karena tubuhku mulai menjadi panas? Namun nafasku kembali menjadi lega, ketika dengan begitu dinginnya Devina membalikkan badan dan pergi dari pintu kamarku. Ia tak mengatakan sepatah katapun, dan terlebih lagi aku masih selamat, tidak ditusuk atau dibakarnya.

Aku segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Jangan sampai ia berubah pikiran dan kembali ke sini lagi. Lalu aku terduduk lemas, tak kusangka wanita itu akan mendatangiku sambil mengancamku dengan pisau. Mungkin ini salahku karena telah terlalu jauh ikut campur dalam urusan orang lain, terlebih lagi orang yang berbahaya seperti dia.

Tiba-tiba suara jeritan perempuan terdengar melengking dari luar kamarku.

Aku membuka pintu. Suara jeritan siapa itu? Suara Devina? Tapi kenapa ia menjerit? Dengan langkah yang pelan dan ragu-ragu aku mendekati sumber jeritan tadi. Di depan pagar kamar kontrakanku, aku menemukan belati merah yang tadi dibawa Devina, tergeletak begitu saja. Di sebelah belati itu, aku menemukan tumpukan abu dan bau gosong yang amat menyengat. Bau menyengat itu menusuk ke dalam hidungku dan menjalar hingga perut. Perutku mual, dan semakin mual ketika pikiranku merekonstruksi semua kemungkinan yang terjadi.

Randu terbakar menjadi abu. Lalu semua cerita yang kususun itu, semua hanya perkiraan. Dan sekarang Devina terbakar, juga menjadi abu. Cuma aku, cuma aku yang tidak terbakar.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).