Unggas

Malam itu, di sebuah kota mengapung yang menjadi pusat peradaban, Ciko menghempaskan tubuhnya pada sebuah selokan. Manusia malang yang menjadi buronan polisi internasional itu hanya bisa diam sambil melihat ke langit. Ia sesekali meringis menahan rasa sakit sambil memegangi lengannya yang bersimbah darah karena terserempet peluru. Ia nyaris saja mati tertembak. Kalau saja peluru itu tidak meleset, pasti sudah menembus kepalanya.

Ia bangun berdiri. Sambil mengendap-ngendap ia bergerak menyusuri selokan itu. Tubuhnya sudah kotor terkena lumpur dan darahnya sendiri. Namun yang paling tidak bisa ditahannya sekarang adalah perutnya yang sudah kelaparan sejak kemarin. Berlari kesana-kemari menghindari kejaran polisi membuatnya benar- benar kehabisan energi. Nafasnya tersengal-sengal, sesekali terdengar suara erangannya, entah menahan sakit atau menahan lapar. Ia nyaris saja akan pingsan, namun pada saat itulah ia manyadari, bahwa gerakannya yang mengendap-ngendap itu ternyata sudah diketahui seseorang. Ini adalah masalah besar baginya, apalagi sekarang orang itu berdiri di hadapannya sambil menatapnya tajam.

“Kasihan sekali kamu,” ucapnya pelan.

“Aku mohon, jangan serahkan aku ke polisi,” rintih Ciko sambil berlutut di hadapannya. Itulah satu-satunya harapan sekarang.

“Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu. Ikut aku,” Ucap orang itu sambil menggoyangkan paruhnya, memberi isyarat pada Ciko agar segera mengikutinya.

“Terima kasih banyak,” Ciko langsung berdiri dan berjalan mengikuti seorang ayam yang baru saja ditemuinya itu.

“Ya, bukannya aku sok baik atau apa, habis mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa diam begitu saja melihat seekor manusia yang terluka dan hampir mati di samping rumahku. Mungkin juga aku akan memeliharamu, berharap saja,” ujar ayam itu.

Ciko tiba di depan sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat itu. Rumah itu terlihat agak kumuh, tapi masih jauh lebih baik daripada berada di luar. Ayam itu membukakan pintu, menyuruh Ciko masuk, kemudian menutupnya kembali.

“Duduklah,” ucapnya sambil mengambil sesisir pisang yang ada di dalam lemari es. Kemudian ia melemparkan pisang itu ke arah Ciko. Ciko menangkapnya.

“Terima kasih!” Dengan tanpa ragu- ragu Ciko segera melahap pisang itu satu demi satu. Perutnya yang merintih kelaparan itu kini mulai dapat terobati. Kelezatan pisang itu malah membuatnya melupakan rasa sakit akibat luka terkena peluru itu.

“Aku tahu kamu pasti lapar. Dengan luka seperti itu, bisa kutebak kalau kamu habis dikejar-kejar polisi. Percuma juga aku ingin tahu kenapa, soalnya aku tidak mengerti bahasa manusia, dan kau tak akan bisa menjelaskannya,” ucap ayam itu sambil mondar- mandir mencari sesuatu, dan sepertinya akhirnya dia menemukannya, “Nah ini dia, satu set kotak P3K. Tenang saja, aku akan mengobatimu.”

Ayam itu menarik lengan Ciko dengan perlahan, tanpa mengusiknya yang masih asik melahap pisang. Kemudian diobatinya lengan Ciko menggunakan alat-alat yang ada di dalam kotak P3K itu.

“Hmm… sepertinya kamu dikejar polisi karena mencuri makanan ya? Kasihan sekali. Tapi aku mengerti kok, aku juga pernah mencuri,” ayam itu seolah mengajak Ciko berbicara, “burung- burung itu memang tidak adil. Kamu mungkin tidak mengerti, tapi kamu pasti tahu. Masalah diskriminasi selalu mewarnai peradaban ini sejak ribuan tahun yang lalu. Kami, para ayam dan unggas yang tidak bisa terbang lainnya, selalu saja dijadikan warga negara kelas dua. Cuma karena mereka bisa terbang, lalu mereka merasa paling sempurna dan menjadi penguasa dunia. Lalu dibuatlah kota-kota yang mengapung di langit sebagai rumah mereka, sementara kami cuma bisa tinggal di bawah sini, di tempat yang kumuh di antara selokan yang di dalamnya mengalir limbah-limbah keserakahan mereka. Kami dianggap rendah, dianggap budak, dan tidak pernah diikutsertakan dalam pemilu. Kalau sesama unggas saja mereka tidak bisa berbuat adil, apalagi terhadap kamu yang cuma seekor manusia. Aku sering dengar manusia yang diternak, untuk dikuliti dan diambil dagingnya sebagai makanan para unggas karnivora. Kamu masih jauh lebih beruntung karena kamu hidup sebagai manusia liar yang bebas. Kamu juga tidak perlu takut, karena aku ini vegetarian, jadi aku tak akan menyantapmu,” ia mengakhiri kata-katanya sambil tersenyum lebar.

Ayam itu kemudian mengambil sebuah gelas dari dapur dan mengisinya dengan air dari wastafel. Kemudian dia berikan segelas air itu kepada Ciko.

Tok! Tok! Tok! Sepertinya seseorang mengetuk pintu dari luar.

“Aku pergi dulu ya, silakan dihabiskan makanannya,” ayam itu mengelus kepala Ciko beberapa kali, kemudian bergegas membukakan pintu.

Ciko akhirnya berhasil menghabiskan semua pisang yang diberikan oleh ayam itu, kemudian ia meneguk segelas air yang sudah disediakan di sampingnya. Ia merasa benar-benar beruntung, tidak menyangka akan bertemu ayam sebaik itu. Sambil mengelus- ngelus perutnya yang kekenyangan, ia bersenandung ringan.

Ayam yang baik hati itu masih menerima tamu di depan pintu, beberapa meter dari tempat Ciko duduk. Tiba- tiba saja Ciko merasa ada sesuatu yang geli di dalam lubang hidungnya, sesuatu yang seringkali ia rasakan akhir- akhir ini, sesuatu yang amat mengganggu, dan sepertinya membuat nasibnya menjadi sial.

Hatsyiii! Ciko tidak dapat lagi menahan bersinnya. Setetes lendir kental keluar dari lubang hidungnya, kemudian ia gunakan punggung tangannya untuk mengelap lendir itu. Ia terdiam sejenak. Perasaan ini selalu saja membuatnya merasa terganggu.

Tiba- tiba saja terdengar suara yang sudah tidak asing lagi bagi Ciko. Suara itu adalah suara senapan yang dikokang, tepat di belakang kepalanya. Ia tidak sanggup menoleh, lebih tepatnya takut untuk menoleh. Setelah hening beberapa saat, akhirnya mereka muncul di hadapan Ciko, dua orang polisi yang merupakan burung elang berpenutup mulut, dan juga ayam pemilik rumah ini yang kini juga memakai penutup mulut yang sama.

“Maafkan aku, manusia yang malang. Tadinya aku bermaksud untuk menolongmu dan memeliharamu, tapi kemudian para polisi datang dan memberitahuku kalau kamu adalah manusia yang berbahaya,” ucap ayam itu dengan wajah yang terlihat sedih.

“Sudah! Jangan bicara dengannya! Tidak ada gunanya!” hardik seorang polisi.

“Tapi dia berhak untuk tau! Dia harus tahu alasannya!” balas si ayam.

“Tapi Nona, dia tidak akan mengerti ucapan Anda. Lagipula, dia kan cuma seekor manusia,” ucap polisi yang satunya lagi.

“Biarkan aku bicara!” si ayam setengah berteriak.

“OK, baiklah, cuma dua menit!” ujar polisi yang tadi.

Ciko tidak bergerak sama sekali. Ia meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. Kali ini sepertinya ia tidak bisa kabur untuk yang kedua kali, apalagi dengan perutnya yang kekenyangan seperti ini.

“Manusia malang, sebenarnya kamu menderita penyakit yang sangat mematikan dan menular. Flu manusia. Penyakit ini tidak hanya menular kepada sesama manusia, tapi juga kepada unggas. Oleh karena itulah, pemerintah menetapkan untuk memusnahkan setiap manusia yang terbukti mengidap penyakit ini, sebelum timbul korban unggas lebih banyak lagi. Maafkan aku, karena aku tidak bisa berbuat apa- apa, aku sendiri juga takut tertular penyakit ini.”

“Cepatlah!” kedua polisi itu tampak sudah tidak sabar.

“Aku tahu kamu tidak bersalah. Kamu adalah manusia yang baik, dan semua ini bukanlah pilihanmu. Semua ini adalah takdir,” ayam itu berusaha tetap tenang dan melanjutkan ucapnnya, “Oleh karena itu, kamu jangan takut, Tuhan pasti akan memahamimu. Setelah dimusnahkan kau pasti akan masuk surga. Sadarlah, semua ini demi kepentingan kita semua.”

“Waktunya sudah habis! Sekarang kami akan membawanya!”

Kedua polisi itu kemudian memborgol tangan Ciko dengan paksa dan menggiringnya keluar dari rumah ayam itu. Ciko hanya bisa menurut sambil memikirkan cara untuk kabur. Sambil berjalan pergi, ia
masih dapat melihat Si Ayam yang melambaikan tangan sambil meneteskan air mata. Sayang sekali, pikirnya.

Sebenarnya Ciko sudah tahu alasan kenapa ia dikejar- kejar polisi selama ini. Ia juga sudah tahu tentang penyakit Flu Manusia yang ia derita sejak seminggu yang lalu, karena sejak saat itulah ia mulai diburu polisi internasional. Tapi, Ciko, cuma manusia biasa. Ciko hanyalah manusia biasa yang tetap ingin hidup, walau ia sadar ia menderita penyakit yang berbahaya bagi semua orang. Tapi dalam pikiran Ciko, burung- burung itu sangatlah egois. Mereka cuma memikirkan spesiesnya sendiri. Mereka tidak berusaha untuk menyembuhkan Ciko, tapi malah berusaha membunuhnya. Maka Ciko pun tak mau kalah egois dari burung-burung itu. Dia akan tetap hidup, bagaimanapun caranya. Ia akan tetap hidup sampai ia dapat menyembuhkan penyakit mematikan itu, atau sampai ia mati terbunuh oleh penyakit itu sendiri. Ia tidak rela dibinasakan begitu saja.

Facebook Comments

Published by

Muhamad Rivai

Muhamad Rivai lahir di Jakarta pada tahun 1988, tapi pindah ke kota Karawang saat kelas tiga SD. Pada tahun 2006 ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di FSRD ITB. Setelah lulus, ia pulang kembali ke Jakarta untuk menekuni dunia tulis-menulis sambil mencari nafkah sebagai pekerja. Tulisan-tulisannya berupa cerpen dan puisi selama ini dimuat di blog pribadi dan di situs Kemudian dengan nama someonefromthesky. Pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen Setelah Gelap Datang (Indie Book Corner, 2012), menyumbangkan satu cerpen di buku Cerita Horor Kota (PlotPoint, 2013), dan pernah juga mempublikasikan kumpulan cerpen digital berjudul Distorsi Mimpi (2009).