Requiem

09.05

Jam sembilan pagi, pengawas ujian datang. Aku tak menyangka kalau yang menjadi pengawas di ruang ujian kami adalah seorang pria muda yang terlihat seperti masih mahasiswa—mungkin ia kerja sambilan di bimbingan belajar ini. Walaupun sebagai sesama lelaki, aku bisa mengatakan bahwa wajahnya lumayan tampan, meski tubuhnya agak pendek untuk ukuran orang seumurnya. Ia mengenakan kemeja putih bergaris-garis coklat yang agak kusut, celana jeans biru yang warnanya sudah memudar, dan sepatu kets yang sepertinya sudah satu semester tidak dicuci. Meski begitu, tetap saja banyak teman-teman wanitaku yang berbisik-bisik genit ketika ia memasuki ruangan (mungkin itu karena kami sudah kelas tiga SMA, sehingga perbedaan umurnya tak terlalu jauh). Aku sendiri, hanya senang saja meperhatikan tingkah laku mereka.

Ia meletakkan tas ranselnya di bawah papan tulis dan meletakkan amplop coklat berisi lembar soal dan lembar jawaban di atas meja. Kemudian dia berdeham, memberi isyarat agar seisi kelas memperhatikannya.

“Tolong perhatikan, waktu kalian untuk mengerjakan soal, masing-masing satu jam tiap mata pelajaran. Yang sudah selesai boleh keluar lebih dulu, tapi dilarang berisik. Untuk nomor peserta dan nomor sekolah bisa dilihat di daftar hadir,” ia menunjukkan selembar kertas yang ada di tangannya, “ada pertanyaan?”

Aku sedang menyiapkan pinsil 2B ketika Silvia Continue reading Requiem